Tahu Jawabannya

1K 68 7
                                    

Selamat membaca
Terima kasih buat yang mau klik ikon bintang

"Kita pulang sekarang, Jo?" tanya Robby yang sengaja menunjukkan perhatian. Dia melirik Bayu dan Mandala yang berada di satu meja diskusi. Robby menyeringai puas sambil merapikan peralatan kamera beserta laptop yang akan dibawa. "Lo berdua nggak bakal bisa deketin Joanna selama masih ada gue."

"Lo balik dulu aja, Rob," jawab Joanna lirih.

Robby sontak menghentikan altifitasnya beberes. Dia menoleh tajam pada Joanna yang juga tengah bersiap pulang. "Maksud lo apa, Jo?"

"Kita jadi pergi kan, Jo?" sahut Mandala.

Robby memanas, tidak terima dengan penolakan Joanna, juga tidak suka wanita itu memilih pergi bersama Mandala. Emosi Robby bergejolak hebat. Dia ingin marah saat itu juga, tapi apa daya. Robby hanya bisa diam, menahan semua luapan amarah yang begitu membuncah.

"Sorry ya, Rob. Aku udah punya janji sama, DL," terang Joanna memberi kepastian.

Joanna tahu kalau Robby tak akan suka dengan pilihannya pulang bersama Mandala. Namun, dia tak kuasa menolak ajakan Mandala yang ingin mengantar pulang, juga tawaran makan malam. Bagi Joanna, hal itu tidak masalah, lagipula hanya sebatas interaksi wajar sesama rekan kerja. Tak ada bedanya dengan cara Joanna memperlakukan Robby.

"Kenapa lo nggak bilang?" gerutu Robby, "gue balik dulu kalo gitu. Permisi Pak," ucap Robby seraya memanggul tas besar di punggungnya. Dia berlalu pergi dengan perasaan carut marut tak menentu, satu kata yang pasti dia rasakan, MARAH.

"Kalian masih mau di sini?" cecar Bayu seraya memandangi Joanna dan Mandala bergantian. Keduanya tersenyum konyol ketika bersitatap. Hal itu pun memantik cemburu di hati Bayu. Sang redaktur rupanya telah jatuh dalam cinta terlarang.

"Mari, Pak. Kami juga permisi dulu. Selamat malam," ucap Mandala undur diri. Dia keluar ruangan diikuti Joanna yang berjalan satu langkah di belakangnya.

Mandala membukakan pintu untuk wanita yang dia cintai, Joanna tersipu malu saat berjalan lebih dulu melewati ambang pintu. "Makasih," ucap Joanna kemudian.

"Kamu pengen makan apa, Jo?" tanya Mandala saat mereka melangkah beriringan menuju ke arah lift.

Joanna berpikir sejenak sebelum menjawab, "Em, nasi goreng kayaknya enak, Di. Gimana?"

"Apa aja boleh, sih. Aku nggak punya pantangan makan kecuali yang diharamkan," kelakar Mandala.

Joanna tertawa ringan sebelum tawanya berubah jadi hambar. Ketika menangkap sosok Robby masih duduk di kursi kerja sembari menatap tajam padanya juga Mandala. Sorot mata tidak menyenangkan itu, memberatkan langkah Joanna yang bergerak semakin dekat dengan keberadaan Robby. "Gimana ini?" batin Joanna cemas.

"Belum pulang, Rob?" tanya Joanna menunjukkan peduli. Sedangkan yang disapa hanya tersenyum simpul, Robby benar-benar geram melihat Joanna dan Mandala sedekat itu.

"Belum, gue mau ngomong penting. Sebentar!" pinta Robby. Dia menyipitkan mata kala melihat Mandala yang tak paham kode untuk pergi meninggalkan dia dan Joanna berdua.

"Apa harus sekarang?" tanya Joanna, lalu dia menatap Mandala yang berdiri di sampingnya.

Mandala bukan laki-laki bodoh yang tidak mengerti maksud Robby, dia sengaja bertahan di sana untuk menguji kesabaran rivalnya, siapa yang akan menjadi teman spesial Joanna. Situasi antara mereka layaknya pertandingan memperebutkan Joanna yang sengaja tidak sengaja memang sudah tercipta. "Kutunggu di lobby, ya?" kata Mandala.

Sang layouter menepuk lengan Joanna beberapa kali sebelum berlalu pergi.

"Ada apa, Rob?" tanya Joanna kala Mandala sudah hilang dari pandangan.

Robby melangkah maju, mendekati Joanna lalu berdiri tepat di depan wanita itu. Mereka beradu pandang begitu dalam, seolah saling membaca isi pikiran masing-masing dalam diam. "Jawab jujur dan tegas, tolong," pinta Robby lirih.

"Soal apa?"

"Lo suka sama dia, jawab! Ini antara lo dan gue, nggak perlu lagi berpura-pura."

"Buat apa lo nanya kayak gitu? ayolah Rob, lo nggak punya pikiran mau ngelarang-larang gue kek, Mas Rizki kan?" protes Joanna. Dia membuang muka ke arah lain sebab tak suka diintimidasi. Joanna tak akan pernah mau dikekang oleh siapapun, atas dasar apapun, karena dia merasa bisa menjaga diri dan perasaan.

Bagi Joanna, kehormatannya sebagai wanita adalah hal yang sangat penting. Jadi untuk apa dia menghancurkan nama baik dan martabatnya hanya demi seorang laki-laki. Joanna yakin bisa bertahan dari godaan apapun.

"Lo udah nikah, Jo. Apa lo lupa?" sanggah Robby.

Kameramen itu ingin mengatakan sikap penolakan, tapi dia pun tahu, tak sepantasnya dia mengutarakan hal itu. Demi apa? Untuk apa? Karena pada kenyatannya, Robby tidak berhak melarang Joanna. Pemberi batasan untuk Joanna adalah sepenuhnya hak Rizki sebagai suami. Kalau Rizki saj member kebebasan berteman pada Joanna. Lantas Robby bisa apa? Tidak ada.

"Lo kenapa sih, Rob? Nggak jelas banget," cerca Joanna. Wanita itu mendorong dada Robby agar jarak mereka semakin jauh.

"Gue nanya sama lo, Jo. Bilang, lo suka kan sama Mandala?!"

"Lo tahu jawabannya," batin Joanna. Dia terbengeong di depan Robby, antara ingin berkata jujur juga tak ingin ditertawakan. Joanna tidak tahu kenapa dia jadi senang sekali berinteraksi dengan Mandala. Seolah bibirnya tak mampu menolak ajakan atau tawaran yang diajukan Mandala. Walaupun hanya sekadar makan siang bareng atau diantar pulang. Kalau harus jujur, Joanna tak pernah merasa sebahagia itu ketika bersama Robby atau rekan kerja yang lain.

"Lo cuma diam? Itu cukup menjawab semuanya, Jo." Robby berbalik badan, menenteng tas punggungnya lalu menyambar kunci motor yang menggantung di sekat kubikel.

"Tunggu, Rob!" cegah Joanna saat Robby sudah berjalan beberapa langkah menjauh darinya. Laki-laki itu berhenti tanpa menoleh, hanya menunggu apa yang ingin Joanna katakan. Ada kecewa yang mendalam di hati Robby.

Joanna menghampiri Robby, rekan kerja sekaligus sahabat yang sangat dia sayangi. Wanita itu tak ingin pula membuat jarak dengan sang kameramen, demi apapun Joanna tak ingin Robby menjauh. "Jawab dulu pertanyaan gue, lo nggak suka kalau gue deket sama Mandala?" tanya Joanna ketika berdiri di belakang Robby.

"Gue nggak pernah bilang gitu. Jadi jangan berasumsi berdasarkan dugaan," sanggah Robby.

"Lalu, kenapa lo terus nanyain perasaan gue ke dia?"

Robby kehilangan kata-kata untuk mendebat Joanna. Seketika itu dia pun sadar, sikapnya pada Joanna jelas salah dilihat dari sudut manapun. Mereka berdua jadi canggung, Robby salah tingkah. Sedangkan Joanna, dia takut mendengar kata 'suka' atau semacamnya keluar dari bibir Robby. Joanna merasa hidupnya sudah terlalu rumit tanpa adanya keterlibatan perasaan antara dia dan Robby. Apa jadinya kalau sampai Robby ....

"Gue cuma nggak mau lo salah jalan," ujar Robby sebelum langkahnya menjauh.

Joanna bergeming, pernyataan yang dilontarkan Robby seolah menghakimi dirinya. Apa dia salah jalan? Atau selama ini Joanna sudah salah jalan? Air mata Joanna menitik dengan mudahnya. Dalam diam, dia terus bermonolog dengan dirinya sendiri. Sampai nada panggilan masuk membuyarkan lamunan Joanna. Dia merogoh saku blazer yang dikenakannya lalu mendekatkan benda canggih itu ke telinga.

"Halo, iya tunggu sebentar," jawabnya sembari mengusap pipi dengan tangan kiri.

Itu telepon dari Mandala yang sejak tadi menunggunya di lobby. Sang layouter cemas karena Joanna tak kunjung turun, sedangkan Robby sudah melaju pulang dengan motor besarnya.

Joanna benar-benar dibuat bingung dengan perasaanya sendiri, semudah itukah hatinya bisa berpaling? "Apa aku ini memang peselingkuh?"


~~~~~

Maaf ye, Jum'at kemarin nggak update. Hehehe Emak lagi sibuk. Ini aja juga lagi nggak di rumah. Sedang singgah di kota orang.

Sampai jumpa Jum'at depan

Love you all

Best Regards

Yuke Neza

DiurnariiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang