Kepulangan

1.1K 58 0
                                    

"Halooo assalamualaikum ...." Salam Mandala pada Joanna di seberang telepon.

Laki-laki dua puluh delapan tahun itu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang single beralaskan kasur yang berisi kapas asli. Perjalanan sepuluh jam untuk sampai ke kampung halaman cukup menguras tenaganya. Mandala yang baru sampai, segera menghubungi Joanna agar wanita itu tidak merasa khawatir akan keselamatannya. Dia tidak sadar, bahwa secara tidak langsung memperlakukan Joanna layaknya pasangan. Selalu merasa perlu berterus terang dan berkata jujur dalam hal apapun. Tak peduli jika Joanna akan marah atau tidak memberi respon yang diharapkan. Laki-laki kelahiran Klaten Jawa Tengah itu sangat menghormati pendapat dan sudut pandang Joanna. Malahan Mandala sering mengikuti apa kata Joanna, baginya wanita itu selalu tahu apa yang terbaik untuknya.

"Waalaikum salam, udah nyampe rumah?" tanya Joanna.

"Udah, lagi istirahat ini. Kamu nggak usah kepikiran lagi, ya," pinta Mandala.

"Iya, dih senengnya ketemu Abah sama Umi," ledek Joanna. Dia terkikik sembari menutup mulut. Membayangkan ekspresi Mandala yang menggemaskan saat laki-laki itu merasa malu.

"Tau aja, sih. Tadi aku langsung meluk Umi, kangen. Kalau pulang masih kayak nggak nyangka sekarang udah bukan anak-anak lagi. Apalagi kalau masuk ke kamar ini ...."

"Wah ada banyak kenangan ya, di kamar kamu?" tanya Joanna antusias.

Mandala tersenyum kecil dengan pandangan menerawang jauh ke luar jendela yang satu pintunya terbuka. Tampak sawah membentang luas, hijau tanaman padi yang kontras dengan langit biru bersemu jingga di pagi hari. Juga, angin sejuk yang berembus melewati celah-celah dinding kayu. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar sampai usia sekarang, kamar itu adalah tempat Mandala terlelap kala malam datang. Di manapun dia singgah, tak pernah ada kenyaman yang sama seperti yang dia rasakan sekarang ini.

"Di, kamu masih di sana?"

"Masih, maaf aku capek, Sayang," ucap Mandala lirih. Laki-laki itu menahan tawa. Semakin lama dia tak bisa membendung hasratnya untuk mengakui Joanna sebagai kekasih, dalam diam.

"Ih, berani banget sekarang. Udah istirahat sana, mandi terus tidur. Ini bentar lagi aku mau ke lapangan. Udah dulu ya ... bye ... assalamualaikum."

Mandala menjawab salam dalam hati saat Joanna menutup panggilan lebih dulu. Samar-samar terdengar langkah kaki mendekati kamar. Benar saja, tak lama kemudian suara ketukan pintu dibarengi pangilan dari luar memaksa Mandala untuk beranjak dari posisi rebahan.

"Iya, Umi. Ada apa?" tanya Mandala setelah dia membuka pintu dan mendapati Umi tengah berdiri menatap anak laki-lakinya dengan senyum lebar.

"Kamu makan dulu, mandi baru istirahat. Sudah ditunggu Abah," terang Umi. Wanita paruh baya itu menarik lengan Mandala agar menurut, kalau tidak dipaksa pasti jawabannya nanti-nanti.

"Aku mau mandi dulu, ya, Umi."

"Ya sudah sana. Jangan lama-lama."

Mandala segera pergi membersihkan diri, badannya terasa lengket dan perlu ganti pakaian yang bersih. Selepas urusan di kamar mandi, ia menyusul abah dan umi yang menunggu kedatangannya untuk makan bersama.

"Nah, gitu kan tambah ganteng anak umi, iya kan, Abah?" ucap Umi sambil menuangkan secentong nasi ke piring abah.

"Siapa dulu abahnya. Kan nurun kegantengan, abah," kelakar Abah.

Mandala tertawa kecil melihat gurauan orang tuanya. Bagaimana tidak rindu, setiap kehangatan yang tercipta di rumah, sering membuat Mandala merasa kesepian kala hidup sendiri di Jakarta.

"Makan yang banyak, Le. Kamu kurusan sekarang," perintah Umi saat Mandala mengambil nasi dan lauk.

Mereka berdo'a bersama sebelum menikmati sarapan. Untuk beberapa saat hanya terdengar denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring.

"Husein ...." Suara bariton Abah memecah keheningan di antara mereka.

"Iya, Bah," jawab Mandala sebelum menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

"Ada yang ingin Abah dan Umi tanyakan dan sampaikan padamu," ucap Abah dengan air muka serius.

Umi menggenggam tangan abah. Wanita itu berharap suaminya bisa menahan apa yang ingin dikatakan, karena merasa saatnya belum tepat, kasihan Mandala yang baru saja sampai.

"Ndak bisa ditunda, Umi. Cepat atau lambat Mnadala juga harus tahu, semakin cepat dia tahu semakin banyak waktu untuknya memikirkan jawaban," tutur Abah yang mengerti apa makna dibalik genggaman tangan istrinya.

Umi mengangguk pelan. Sedang Mandala menahan mulutnya mengunyah makanan, dipandangi kedua orang tua yang saling melempar kode itu. Rasa penasaran juga firasat tidak enak menyergap hatinya. Mandala bingung. Kenapa abah dan umi mendadak berubah serius.

"Katakan saja, Abah. Ada apa?" tanya Mandala sembari memainkan sendok di tangannya. Makanan yang dia santap tinggal beberapa suap lagi. Namun, selera makannya menguap begitu saja.

Alih-alih menjawab, abah malah berdehem. Sebagai kepala keluarga, dia sendiri ragu untuk memulai pembahasan yang ingin dibicarakan. Tetapi, kapan lagi kalau bukan sekarang. Laki-laki berumur enam puluhan itu menegakkan badannya, menoleh pada umi sekali lagi. seolah dia mencari dukungan dan pembelaan semisal reaksi Mandala tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan.

"Bilang saja, lihat Mandala sudah menunggu," imbuh umi.

"Ada apa?" cecar Mandala ingin tahu.

"Apa kamu sudah punya calon, umurmu sudah hampir kepala tiga, Le," tanya abah lugas.

Mandala terhenyak, tak terpikir olehnya abah akan menanyakan hal itu. Udara di sekitar terasa pekat, laki-laki itu kelimpungan mengingat satu-satunya yang mencuri hati sekian lama. Wanita yang dianggapnya kekasih, tapi tak berhak untuk dimiliki. Tenggorokan Mandala tercekat, dia tak mampu mengucapkan sepatah kata untuk pertanyaan abah.

"Diammu harus umi artikan apa, Le?" desak umi.

Mandala hanya menggeleng, perlahan. "Belum ada, Umi."

"Aku mencintaimu, Jo. Mirisnya, aku nggak bisa mengakuimu sebagai seseorang yang kucintai. Seperti nggak ada gunanya ungkapan rasa yang sama-sama kita punya."

"Syukurlah kalau begitu. Karena Abah dan Umi sudah menerima permintaan Kiai Dahlan untuk mengenalkanmu dengan putri beliau."

Mandala membelalak, dadanya naik turun sebab menahan gejolak emosi yang meruntuhkan dunia dalam satu waktu. Laki-laki itu tak bisa duduk di sana lebih lama. Bulir air matanya tak dapat dibendung. Namun, dia tak mungkin menitik di depan kedua orang tuanya. Mandala bangkit dari duduk.

"Mau ke mana kamu, Le. Abah belum selesai bicara," cegah Abah.

Mandala yang membelakangi abah dan umi, terpaksa menahan langkahnya.

"Kalau itu sudah keputusan Abah dan Umi. Aku nggak bisa menolak, bukan?" sanggah Mandala. Dia tak menoleh, biarlah dianggap tidak sopan. Lebih menyakitkan lagi kalau harus menahan lelehan air mata yang mendesak keluar. Mandala menitik, pilu.

"Husein ... kamu hanya perlu berkenalan dulu, Nak," tutur Umi kala mengejar langkah Mandala masuk ke kamar. Laki-laki itu tak mengindahkan ucapan ibu yang melahirkannya. Dia segera menutup pintu tanpa menjawab sepatah katapun.

"Aku lelah, Umi," dalih Mandala lirih dari dalam kamar.

"Jo, aku nggak ingin menikah selain denganmu."



Bersambung
_________

Halo ada yang kangen sama aku nggak neh? nggak kangen nggak apa-apa deh. Yang penting jangan lupa vote ya, terus komen. Aku tunggu komen pokoknyaaa ....

Kasih tahu Emak gimana kesan dan pesan kaliaaan. Big love 😘



Yuke Neza


DiurnariiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang