Aku Tak Akan Melarang

1K 66 10
                                    

"Lebih tega mana dibanding kamu yang mau-maunya tidur sama atasan sendiri?!"

Air mata Joanna tumpah. Hati wanita itu perih bak tertikam pisau. Dia yang mati-matian menjaga kehormatannya, memantapkan diri untuk memaafkan dan memperbaiki hubungan mereka malah mendapatkan balasan seperti ini. Joanna terduduk di lantai, menangis dan meraung sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Kenapa kamu nggak membela diri? Mas ingin dengar sanggahan apa yang akan kamu katakan!"

Joanna mendongak, ditatapnya Rizki yang berdiri angkuh. Wanita itu bangkit lalu berjalan mendekati Rizki. Helaan napas berat Joanna terdengar kala jarak mereka hanya terpaut satu langkah kecil.

"Mas, bakal menyesal atas semua tuduhan itu!" tegas Joanna dengan jari telunjuk mengarah tepat ke muka Rizki.

Wanita itu mengusap kasar pipinya yang basah oleh air mata. Dia bukan sosok lemah yang akan tumbang begitu saja saat difitnah oleh orang lain. Meskipun suaminya sendiri yang menuduhkan hal tidak benar untuknya. Kenapa harus merasa bersalah kalau memang Joanna tak melakukan apa-apa. Biarlah Rizki berkata sesuka hatinya. Joanna tertawa hambar, dia menyambar tas yang tergeletak di sofa. Wanita itu lantas melangkah ke luar rumah, meninggalkan Rizki dan segala asumsinya yang tidak beralasan.

"Pagi, Jo," sapa Mandala saat Joanna masuk ke dalam mobil laki-laki itu.

Saat mendengar suara klakson mobil Mandala, Joanna memutuskan pergi. Rasanya percuma berdebat dengan Rizki. Untuk apa membela diri jika sang suami saja tidak mau mendengar apa penjelasan istrinya. Logika macam apa yang membiarkan orang lain masuk dalam rumah tangga dan memercayai apa kata orang lain, sebelum bertanya pada pasangannya sendiri. Tidakkah itu hal yang memalukan, di mana letak percaya yang harusnya mereka bangun.

Joanna menepis kecamuk yang menerkam diri. Sebisanya dia harus bersikap biasa saja di depan Mandala ataupun Robby.

"Pagi," jawab Joanna singkat seraya mengucek-ucek matanya.

"Kamu kenapa, abis nangis?" tanya Mandala seraya mengamati Joanna dari kursi kemudi.

Joanna menggeleng sambil mencari-cari tisu di dalam tas yang dia pangku.

"Kamu cari apa sih, Yang?" goda Mandala.

Joanna menghentikkan gerak tangannya, lalu menoleh pada Mandala yang tersenyum jahil.

"Nggah usah becanda. Jalan sana!" perintah Joanna.

"Baiklah, Cintaku."

Rayuan kecil Mandala seketika membuyarkan wajah muram Joanna. Wanita itu tersenyum penuh arti. Sikap Mandala membuatnya bahagia, sedetik dua detik lupa prahara yang baru saja terjadi.

Mandala menuruti perintah Joanna. Laki-laki itu menyalakan mesin mobil lalu memutar arah laju mobilnya. Mereka kini, harus berhadapan dengan jalanan yang selalu padat merayap tiap jam berangkat kantor.

"Kamu abis nangis, kan?" selidik Mandala. Dia belum tenang karena Joanna belum menjawab pertanyaan.

Yang ditanya cuma berdehem sembari memperbaiki riasan wajahnya yang luntur karena lelehan air mata. Joanna tak ingin membahas apapun soal Rizki. Biarkan saja dia dengan prasangka buruknya. Joanna tak akan merengek untuk minta didengarkan. Sekali merasa tidak bersalah, Joanna akan berpegang pada keyakinan itu. Buat apa dia memohon, itu hanya akan membuatnya seolah mengakui apa yang Rizki tuduhkan.

"Nggak, kok. Mataku tiba-tiba perih," elak Joanna seraya memoleskan perona di bagian tulang pipi.

"Jangan boong!"

"Buat apa aku bohong?"

Mandala memandang deretan mobil yang mengular di depannya. Dalam hati dia membenarkan pernyataan Joanna. Untuk apa Joanna berbohong, selama ini wanita yang dia cintai selalu menceritakan segala hal yang dialami.

"Macet ya, Di," ucap Joanna.

"Iya seperti biasa. Tiap pagi juga gini. Emangnya kenapa?"

"Nggak apa-apa. Tadi Robby nelpon, ada perkembangan terbaru soal pelaporan yang melibatkan aku kemarin. Yang itu loh."

Joanna mengingatkan Mandala tentang resiko sensor yang bisa saja terjadi. Tergantung seberapa buruk efek yang ditimbulkan berita itu. lebih tepatnya berita yang dianggap menyudutkan salah satu pihak sehingga pihak terkait membuat laporan pencemaran nama baik. Joanna tertawa geli mengingat laporan yang dilayangkan, pencemaran nama baik yang mana?

"Kenapa malah ketawa? Kamu nggak takut kasus ini bisa berimbas pada kredibilitasmu sebagai reporter senior?"

"Lucu aja, Di. Coba deh kamu telaah sendiri. Pencemaran nama baik, memangnya ada nama yang tersebutkah di sana? Nggak, kan?" tutur Joanna mengemukakan argumennya.

"Emang nggak ada, sih. Tapi kan, ada kalimat yang merujuk ke sesepihak beserta lembaga yang menaunginya," sanggah Mandala.

"Iya, itu emang bener juga. Berita itu emang seolah menggiring opini publik untuk berasumsi demikian. Tapi aku tahu nggak ada maksud yang demikian itu dari pihak kita. Apalagi banyak proses yang harus dilalui agar tulisan itu bisa sampai terbit di media digital maupun cetak. Saat menentukan layak tidaknya artikel itu dimuat, aku yakin semua orang sependapat denganku. Nggak ada maksud menyudutkan sama sekali," terang Joanna.

Mandala manggut-manggut. Laki-laki itu mencoba paham dengan pemikiran yang dianut Joanna. Bagaimana tidak terkagum pada Joanna, dia tak patah arang sekalipun masalah besar tengah membelit namanya. Dampak terburuknya bisa sampai mengancam pekerjaan. Namun, Joanna tak gentar untuk menyuarakan pendapat yang dia yakini benar.

"Yang lebih lucu lagi. Secara nggak langsung pihak yang membuat laporan malah seperti mengaku. Iya, kan?" tanya Joanna kemudian.

Mandala terkekeh sebelum menjawab, "Serius, aku malah pengen ketawa juga. Intinya mereka membenarkan apa yang seharusnya tetap jadi ambigu. Ini beneran lucu, Jo."

"Nah, kan. Kamu paham maksudku sekarang."

"Dan aku ngebayangin ekspresi mereka pas kamu jeblakin pakai argumen tadi," imbuh Mandala membenarkan.

Keduanya tergelak. Macet jalan raya dan masalah yang harus Joanna hadapi tak membuat wanita itu berubah jadi sosok lemah dan mudah menyerah. Satu keyakinan yang selalu jadi prinsip Joanna, kalau aku tidak salah maka aku akan membela diri, jika aku salah aku tak akan segan meminta maaf.

"Udah, udah. Kita jadi ghibah pagi-pagi. Ini nggak jalan-jalan lagi, kapan nyampe kantornya," keluh Mandala.

"Sabar, Di. Semua orang butuh akses."

Joanna mengulas senyum lebar di susut bibirnya. Semudah itu membuat dirinya sendiri bahagia. Membiarkan apa yang seharusnya dibiarkan dan menjaga apa yang sebaiknya dijaga. Bersama Mandala, setidaknya bisa mengurangi beban pikiran yang harus Joanna tanggung untuk saat ini.

"Jo, aku mau bilang sesuatu sama kamu," ucap Mandala lirih. Laki-laki itu tak ingin membuat suasana hangat di antara mereka jadi berantakan.

"Bilang aja, Di!"

"Orang tuaku di kampung halaman, mereka ingin aku izin cuti beberapa hari. Gimana menurutmu?" tanya Mandala hati-hati.

Sesaat Joanna menahan napas. Dia sedih memikirkan harus berpisah dengan Mandala. Tetapi, Joanna tak punya alasan untuk menahan Mandala pulang, apalagi ada orang tua yang merindukan anak laki-lakinya.

Joanna memaksa bibirnya untuk mengulas senyum. Lalu dia menjawab, "Pulang aja. Abah dan Umi-mu pasti kangen."

"Nggak apa-apakan, kalau aku pulang?"

"Aku nggak akan melarang." "Meski aku nggak ingin jauh darimu."

Bersambung ....

Haiii ada yang nungguin cerita ini nggak? Aku udah update, nih. So, so, jangan lupa komen sama bintang ya ....

Big love

DiurnariiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang