Perlukah Diperjuangkan

1.2K 52 11
                                    

Kedua laki-laki yang duduk di ruang tamu apartemen itu saling diam. Mereka larut dan sibuk dengan pemikiran masing-masing, tidak ada kemudahan untuk menyelesaikan masalah ini. Mandala menumpukan kedua siku di atas paha, sedangkan telapak tangan memegang kepala lantas mengacak-acak rambutnya kasar.

"Lo mau nyerah gitu aja! Banci lo!" ejek Robby setelah mendengar dan menimbang semua yang Mandala ceritakan.

"Kamu pikir segampang itu. Seandainya Joanna mau memperjuangkan. Udah pasti aku akan berjuang bersamanya. Kalau dia nggak mau?" tanya Mandala kemudian.

Robby menyeringai licik dengan kekehan ringan terdengar dari bibir tipisnya. Keadaan ini justru bisa dia manfaatkan agar Joanna kembali lagi padanya. Namun, tidak semudah itu, mengingat wanita yang selama ini bersamanya sudah jatuh hati pada Mandala.

"Nggak ada yang mudah, jatuh cinta pada wanita yang bernama Joanna Anggita. Lo bener-bener banci, lemah, gampang nyerah sama keadaan. Asal lo tahu, gue ...." Robby menahan tumpahan emosi yang tinggal di ujung lidah. Satu pernyataan dia utarakan, maka seluruh kenyataan tentang hidupnya akan terbuka satu persatu, terurai.

Mandala mendongak, ditatapnya Robby dengan rasa penasaran melingkupi benak. Laki-laki dengan julukan tukang koleksi itu, sebelumnya tak pernah tampak ragu-ragu dan seperti mempertimbangkan apa yang mau dia katakan. Tetapi memang, ada yang ditahan Robby, agar cuma dia dan Tuhan yang tahu ada apa sebenarnya.

"Pernah ada apa antara kalian?" terka Mandala.

Robby menjatuhkan punggung dengan tawa hambar keluar dari mulutnya. Pandangan laki-laki itu menerawang jauh, memandang langit-langit berwarna putih pucat. Lagi-lagi dia bertanya pada diri sendiri, perlukah semua ini dia katakan? rasanya tidak perlu. Tetapi, apa dia akan tega melihat Joanna kecewa, atas apa yang terjadi tentang Mandala? itupun tidak mungkin.

Masalah satu-satunya di sini adalah, jika Mandala tak mau diperkenalkan. Halah diperkenalkan hanyalah kata halus dari makna sebenarnya, yaitu dijodohkan. Bila Mandala bersikeras menolak, apa yang akan diperjuangkan. Apakah Joanna akan memilih Mandala atau hanya bertahan dan pasrah dengan keadaan. Kedua pilihan tak ada yang berakhir kebahagiaan untuk Joanna.

"Bukan antara gue sama dia. Ini cuma gue dan perasaan yang nggak pada tempatnya," jawab Robby yang membuka masa lalunya.

"Jangan bilang, kamu juga cinta sama Joanna?" cecar Mandala.

"Lebih dari itu. Tapi, ini sepenuhnya salah gue. Nggak ada hubungannya sama Joanna. Wanita dengan seribu pesona itu nggak ngasih gue jalan untuk melarikan diri dari rasa sialan yang terus menghantui," terang Robby lebih jauh.

Laki-laki yang sudah lima tahun bersama dengan Joanna itu mengambil keputusan untuk menceritakan apa yang melilit dirinya selama ini. Baiknya Mandala tahu, supaya apa pun yang akan terjadi antara ketiganya tak ada lagi sekat tertutup yang perlu dijaga. Robby dan Mandala adalah dua laki-laki yang mau tidak mau harus menghadapi perkara pelik karena terbentur oleh keadaan. Dunia tidak berpihak pada mereka yang terlanjur salah menempatkan rasa suka untuk Joanna.

"Lalu, kamu masih bertahan dengan perasaan itu?" tanya Mandala lagi.

Alih-alih menjawab, Robby malah bangkit dari duduknya. Dia berjalan ke dapur untuk memasak air panas. Menceritakan semuanya butuh pendamping kopi untuk mengalihkan rasa nyeri yang akan menghunjam. Bukan akan. Tetapi, sakit itu tak pernah pergi dan luka yang tertoreh masih basah. Memang tidak ada jalan untuk melarikan diri setelah dia terperangkap dalam rasa yang salah.

"Gue udah suka sama dia dari jaman kuliah," ujar Robby sembari menakar perbandingan kopi dan gula. Dapur apartemennya tidak bersekat dengan ruang tamu ataupun meja kerja. Yang terpisah oleh tembok hanyalah dua kamar tidur serta kamar mandi di dalamnya.

"Kalian satu kampus?" tukas Mandala dengan suara agak meninggi.

"Ya, satu angkatan tapi beda jurusan. Lo pasti juga tergila-gila sama dia andai kenal di masa itu. Cewek yang ramah, supel, dikenal pinter lagi." Robby tersenyum sendiri mengingat masa lalunya. "Lo biasa kopi item nggak?" tanya Robby menawari kopi untuk Mandala.

"Item oke aja. Terus kalian udah deket dari kuliah?"

Robby tersenyum sinis sambil mengaduk dua cangkir kopi yang sudah bertengger di atas nampan aluminium. Seusai gula dan bubuk kopi larut, Robby membawa minuman buatannya ke ruang tamu.

"Nih kopi." Robby meletakkan satu cangkir kopi dengan sopan di depan Mandala yang memandangnya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Gue dulu nggak punya keberanian buat deketin dia," kata Robby menyambung cerita.

"Aku mau denger cerita lengkapnya," pinta Mandala sungguh-sungguh. Dia ingin mengetahui kisah mereka. Apa pun itu, baik atau buruk. Meskipun, dia tahu harus sekuat hati menahan cemburu jikalau ada apa-apa antara mereka.

"Dan lo mungkin akan berpikir gue orang paling tolol di muka bumi ini."

"Aku pun mengakui ketololan yang sama," ucap Mandala.

"Gue baru deket sama Joanna setelah kita kerja bareng. Awal-awal dulu, gue grogi pas interaksi sama dia. Joanna sih biasa aja. Gue yang bego selalu salah tingkah dan lebih banyak diem. Beberapa bulan kemudian gue mulai bisa menyesuaikan diri ...."

Mandala mendengarkan dengan seksama cerita Robby. Laki-laki yang seumuran dengannya itu tak ragu lagi mengatakan cinta terpendamnya pada orang lain. Sesekali Mandala menyesap kopi yang dibuatkan oleh sang empunya apartemen.

Robby bertutur dengan gamblang awal mereka bertemu Joanna sampai pada akhirnya benih cinta yang bersemai dalam hati tumbuh dan mengakar di sana. Pun lambat laun, Robby semakin dekat dengan sosok yang lama dia kagumi. Cukup mengagumi tanpa rasa ingin memiliki apalagi mengikat Joanna. Sebagai laki-laki yang kritis dalam berpikir, Robby sadar bahwa kode yang berkali-kali dia tunjukkan tak disambut baik oleh Joanna. Yang mana artinya, Joanna tak memiliki perasaan selain kata teman, sahabat, dan rekan kerja.

Namun, jika orang lain melihat kedekatan mereka yang di luar batas wajar. Tentu akan berpikir kalau Joanna dan Robby ada hati satu sama lain. Asumsi memang mudah terbentuk, bahkan sebelum seseorang tahu dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Robby tak menyalahkan asumsi mereka juga gunjingan publik yang selalu menggosipkan dirinya. Itu tidak masalah selama dia dan Joanna tidak ada apa-apa dan hubungan mereka baik-baik saja. Apa yang lebih penting daripada menjaga orang yang dicintai? meski orang tersebut tidak memiliki hati yang tertali.

Yang Robby sesalkan adalah tidak bisa memenuhi janjinya pada mami yang sudah membesarkan dan merawatnya seorang diri. Seringkali rasa bersalah berbalut kecewa menikam hati saat teringat apa yang diminta oleh orang tua satu-satunya. Keinginan yang mustahil untuk diwujudkan karena tak akan bisa terwujud sampai kiamat sekalipun.

"Gue sayang sama dia ... sama seperti lo ada rasa ke dia." Robby menyeka ujung matanya yang berembun.

"Dan kamu ngebiarin Joanna nikah sama orang lain?"

"Nggak apa-apa. Yang penting gue masih bisa jagain dia. Seperti janji yang pernah gue ucapkan di depan Mami gue." Ulu hati Robby semakin nyeri kala teringat janji yang dia ikrarkan untuk menjaga orang yang dia cintai demi mami yang dia sayangi.

"Janji untuk?"

"Mami minta gue nikah dan ngejaga Joanna. Gue udah janji sebelum gue tahu kalau Joanna bakal menolak. Gue nggak bisa menepati pernikahaan yang udah gue janjiin sama Mami, tapi gue masih ada untuk ngejaga Joanna meski Mami udah nggak ada."

"Apa Joanna tahu soal ini?"


Bersambung ....

Hulaaa apa kabar semua, behh udah berdebu kali ya, lapak Wattpad-ku. Gimana, gimana, ada yang kangen sama aku atau Joanna dkk, nggak?

Nggak ada, ya?
Yodah deh, kalau gitu. Ceritanya nggak jadi aku tamatin.

Emang udah tamat? Udah dong, di draft. Uwuwuwuuuu

Lapak sebelah dan sebelah udah pada nemu rumah nih. Ada yang mau dibikinin cerita baru nggak?

Cerita dong, pada pengen baca cerit apa nih? Biar lapak ini akun nggak dipakai sarang spide. Komen di sini deh, cerita genre apa dan tema apa yang kayaknya seru ....

DiurnariiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang