"Tolong buka pintunya, Jo," bujuk Rizki. Dia berdiri di depan kamar yang dikunci dari dalam. Dia mengetuk daun pintu yang menghalanginya bertemu dengan Joanna.
Dengan berat hati, Joanna bangkit lalu membukakan pintu untuk Rizki. Dia memutar anak kunci tanpa menarik daun pintunya agar terbuka. Rizki mendorong pelan pintu kamar Joanna. Dia melangkahkan kaki mendekati Joanna yang berdiri membelakanginya.
"Jo, kamu mau kan pulang bareng, mas?" tanya Rizki yang kini memeluk Joanna dari belakang. Mereka berdiri menghadap jendela kamar yang memperlihatkan langit malam, gelap tanpa bintang. Joanna berusaha melepas tangan Rizki yang melingkar di pinggangnya. Namun, Rizki mengeratkan pelukan. Dia merindukan Joanna yang satu bulan ini tak mau bertemu dengannya.
Bulir bening mengalir dari sudut mata Joanna. Sebagai wanita, dia tak bisa memungkiri senyap di dalam hati, meski dia marah dan kecewa pada Rizki.
Rizki memutar tubuh Joanna, dipeluknya wanita yang dia nikahi tiga tahun lalu itu. Joanna tak bisa menampik kehangatan yang dia rindukan dari suaminya, tak ada istri yang ingin jauh dari sang suami. Begitupun Joanna.
"Kamu mau kan?" pinta Rizki sebelum mengecup puncak kepala Joanna, lalu dia menunduk, diciumnya pipi kiri Joanna. "Jo, maafin mas."
"Entahlah, aku nggak tahu." Joanna menarik dirinya sampai terlepas dari pelukan Rizki. Dia berlalu ke luar kamar, membiarkan Rizki termangu di samping ranjang. Joanna mempercepat langkahnya menuju dapur, mencari ibunya.
"Ibu." Joanna berhambur memeluk ibunya dari samping. Wanita paruh baya itu pun cemas, memikirkan pernikahan putrinya yang dilanda prahara ketidakcocokan paham.
"Ada apa lagi? Kamu ndak mau memaafkan suamimu?" tanya sang ibu sembari mengusap-usap lengan Joanna. "Jo, dengar. Kamu harus memberi suamimu kesempatan. Dia sudah bilang kan, tidak akan melarangmu bekerja. Kalaupun Rizki melarangmu bekerja. Ibu tidak keberatan. Ibu masih bisa menghidupi adik-adikmu. Ibu bisa jualan lagi, Nak."
Naluri seorang Ibu yang tak ingin anaknya bersedih apalagi sampai gagal dalam pernikahan. Naudzubillah mindzalik.
Jonna memeluk ibunya lebih erat, "Nggak Bu, aku nggak akan biarin Ibu capek kerja. Ibu harus istirahat. Biarkan aku dan adik-adik yang membahagiakan Ibu. Merawat Ibu."
Dua wanita beda generasi itu menangis. Di saat kata tak mampu mengungkapkan perihnya rasa, air mata lah yang meluapkan rasa kita tanpa perlu mengucap kata. Karena wanita adalah makhluk perasa yang hatinya mudah terluka.
"Pulanglah, Nak. Celyn juga pasti kangen dengan Papanya." Ibu Joanna mengurai pelukan, dipandanginya putri kesayangan yang kini sudah menjadi ibu dan istri. "Jo, satu pesan Ibu. Berbaktilah pada suamimu. Jangan kecewakan Ibu, bukankah dulu kamu yang memilih dia untuk mendampingimu dan Ibu tidak menolaknya. Meski, Ibu punya pilihan lain. Ibu hanya ingin kamu bahagia, Nak. Berbahagialah, perbaiki semuanya. Kamu pun harus melunak, jangan berdiri angkuh diatas pendapat dan keyakinan yang kamu anggap benar," pesan Ibu.
Tidak ada yang mengenal watak seorang anak kecuali seorang ibu. Dia yang merawat dan membesarkan sang anak hingga kita menjadi dewasa.
"Maaf , aku sudah membuat Ibu sedih."
Ibu mengalihkan pandangan pada Rizki yang sedari tadi bersandar di ambang pintu dapur. Laki-laki itu tak banyak bicara, karena dia sudah menelpon ibu mertuanya sebelum menjemput Joanna di kantor. Rizki juga mengutarakan niatnya mengajak Joanna kembali pulang ke rumah, meski ibu mertuanya tidak memberikan jawaban pasti.
"Pulanglah, Nak. Biar ibu yang membangunkan Celyn," perintah Ibu. Wanita pauh baya itu tersenyum sembari menepuk pelan pipi Joanna. Dia mengusap pipi Joanna, lalu memandang anak dan menantunya bergantian dengan senyum terukir di sudut bibir. Langkahnya keluar dari dapur diiringi harapan dan do'a agar pernikahan Joanna selalu bahagia. Ibu menjeda langkah lalu tersenyum penuh arti saat melewati Rizki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diurnarii
RomansaSampai kapan seseorang bisa memegang komitmen, apabila berdiri di persimpangan antara yang benar dan yang diinginkan? Sanggupkah dia menentukan pilihan?