Aku Tidak Bisa Bilang

1.3K 92 5
                                    

Selamat membaca, buat kamu yang nungguin update-an cerita ini. Terima kasih untuk yang berkenan menekan ikon bintang.

Sila ramaikan dengan komentar kalian.

"Apa yang terjadi, Jo?" cerca Mandala sembari menyentuh kedua bahu Joanna yang bergetar hebat. Mandala tidak tahu apa yang membuat wanita itu sangat terguncang. "Jo katakan sesuatu!"

"Mas Rizki bilang aku yang nggak bisa diajak baikan. Dia ingin menjeda komunikasi selama ada di Kalimantan. Dengan alasan yang nggak masuk akal bagiku. Ternyata apa?! Aku melihatnya ...."

"Jo, jangan bikin aku cemas. Katakan sesuatu!" desak Mandala.

Laki-laki 28 tahun itu panik melihat Joanna yang terus menangis. Wanita yang berdiri sambil menutupi wajah itu sangat berantakan, tidak peduli lagi dengan tatapan orang-orang yang ada di sekelilingnya.

"Jo, ada apa?" tanya Mandala lagi.

Joanna tak mampu merangkai kata untuk menjawab pertanyaan Mandala. Tubuhnya limbung, dia menyandarkan tubuh di dada sang redaktur, dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Sedang Mandala bingung harus bagaimana di saat seperti ini. Dia ingin menjauhkan tubuh Joanna tapi tidak mungkin. Wanita yang secara tidak langsung bersentuhan dengannya itu sedang terpuruk. Mandala mengangkat kedua tangan, hendak membalas pelukan atau sekedar mengusap punggung, tapi dia urungkan niat melakukan itu.

Mandala menurunkan tangannya yang terhenti di udara, disentuhnya pundak Joanna, perlahan dia dorong menjauh. "Jangan nangis, kamu wanita kuat. Apapun masalahmu, aku yakin kamu bisa melewatinya. Sekarang tenangkan diri, terus kuantar pulang."

Mandala memberanikan diri menyentuh punggung Joanna kala mereka berjalan sejajar. Wanita yang melangkah beriringan dengannya pun tak menunjukan reaksi penolakan, dia menunduk seraya mengelap pipi basahnya dengan tangan kosong. Di El membawa Joanna menjauh dari bandara. Saat berkendara pulang, sesekali Mandala melirik Joanna yang menyandarkan kepala di kaca jendela mobil.

"Jo, kamu nggak apa-apa kan?" tanya Mandala ragu-ragu.

"Aku oke," jawab Joanna singkat, tanpa menoleh pada Mandala. "Kita balik ke kantor aja, Di!"

"Buat apa, Jo?" sergah Mandala.

"Ada diskusi yang harusnya mulai jam tiga ini kan?" sanggah Joanna lirih.

"Iya, tap--"

"Udahlah aku nggak apa-apa," potong Joanna. Dia ingin bertemu Robby untuk menumpahkan segala rasa yang membebaninya saat ini.

Pukul setengah empat mereka tiba di parkiran kantor lagi. Keduanya menuju mushola untuk melaksanakan ibadah sholat ashar. Lalu mereka berpisah arah, Mandala naik ke lantai enam lebih dulu. Sedangkan Joanna masih tertahan di toilet wanita untuk merapikan diri. Tidak mungkin dia hadir di acara diskusi dengan keadaan kacau seperti itu, rambut acak-acakan, riasan wajah yang luntur, juga mata sembab yang begitu kentara.

"Sore semuanyaa ... maaf ya aku telat," sapa Joanna saat masuk ke ruang rapat. Beberapa pasang mata menoleh padanya termasuk Mandala yang sudah duduk di kursinya.

"Apa yang terjadi denganmu, Jo? Untuk apa, pura-pura tersenyum setelah tangis sendumu?" benak Mandala. Tangannya memegang pena dan pandangan mata tertuju pada layar komputer. Namun, Mandala tak bisa berhenti memikirkan wanita yang duduk di kursi paling ujung deka pintu keluar.

Joanna menatap Bayu dengan tatapan kosong, dia sama sekali tak menyimak koreksi yang disampaikan oleh redakurnya.

Robby yang duduk di urutan depan tiba-tiba bangkit, menghampiri Joanna yang terhanyut dalam kemelut batinnya. Laki-laki itu menempati kursi yang ada di sebelah Joanna tanpa permisi. Mereka berdua tak perlu berbasa-basi untuk sekedar menunjukkan simpati.

DiurnariiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang