"Pulangnya perlu kujemput?" tanya Rizki ketika Joanna mencabut sambungan pengisi daya ponselnya. Dimasukannya telepon seluler itu ke dalam tas peralatan yang selalu dibawa Joanna saat bekerja. Rizki memandang istrinya lamat, menunggu jawaban Joanna yang tak kunjung buka suara. "Sayang, aku nanya sama kamu?" rayu Rizki.
"Nggak perlu, Mas. Aku bisa pulang sendiri, kalau kemaleman ada Robby yang searah lewat rumah kita," tolak Joanna tanpa memandang ke arah Rizki. Dia mengecek barang-barang bawaannya sudah semua apa belum, khawatir sekiranya ada yang tertinggal.
Rizki menggamit tangan Joanna, reflek Joanna kehilangan fokusnya membereskan isi tas peralatan. Rizki mencondongkan badannya, mengikis jarak pandang di antara mereka. Satu tangan Rizki menyentuh tengkuk Joanna, perlahan dia menarik istrinya dengan mata terpejam.
"Mas, ini di tempat umum," pekik Joanna. Dia mendorong tubuh Rizki agar menjauh darinya.
Rizki berdecak. Dia kesal dengan penolakan yang dilakukan Joanna. "Turunlah!" perintah Rizki yang menahan amarahnya untuk berkata kasar.
Rizki mengeluh dalam diamnya, sebagai suami dia merasa berhak melakukan itu, sekalipun di tempat parkir. Kan, hanya ciuman. Lagipula kaca mobilnya tak tembus pandang jika dilihat dari luar.
"Kuharap kamu ngerti, Mas." Joanna meminta tangan Rizki untuk salim. "Mas, aku pergi dulu," pinta Joanna. Rizki mengulurkan tangan kanannya dengan terpaksa.
"Hati-hati, jaga diri baik-baik," ucap Rizki saat Joanna membuka pintu mobil.
Joanna tersenyum sembari melambaikan tangan saat mobil Rizki melaju perlahan. Belum sampai Joanna beranjak dari tempatnya berdiri, sebuah mobil lain berhenti tepat di depan Joanna. Satu-satunya mobil yang paling keren di kantor. Meski si pemilik, jabatannya hanya satu tingkat di atas Joanna. Semua karyawan tahu siapa dia, banyak yang mengidolakan redaktur baru yang sok kegantengan itu. Joanna memutar bola mata saat klakson mobil yang baru berhenti berbunyi satu kali. Sedangkan, Bayu terkekeh pelan sebelum turun dari mobil. Dia menganggap lucu raut muka Joanna yang menahan sebal.
"Pagi sweety," sapa Bayu.
"Elah pagi-pagi sarapan modus gue."
"Kenapa kamu menatap saya seperti itu, Jo?" tanya Bayu sembari merapikan kemeja yang dikenakannya.
Joanna memutar badan. "Sok ganteng banget. Siapa peduli sama lo!"
"Jo, tunggu!" langkah Joanna tertahan oleh panggilan Bayu.
Bayu mensejajari langkah Joanna masuk ke lobby kantor. "Kalau bukan atasan. Males banget gue jalan sama Bayu."
"Jo, bagaimana dengan urusan desain. Apa sudah beres?" Bayu membuka obrolan untuk mengusir sepi di antara mereka.
"Sudah Pak, beres. Tapi saya tidak tahu pilihan saya dan Mandala, sesuai apa tidak dengan Bapak," jawab Joanna sambil pura-pura tersenyum. Lebih tepatnya meringis.
"Sejauh ini, pilihan kamu tidak mengecewakan," puji Bayu.
Joanna meringis lebih lebar. "Gue nggak mempan dimodusin, Pak."
Dalam hati, Bayu tertawa melihat ekspresi Joanna yang nampak kesal dengan tugas itu. Secara halus, Bayu memang ingin menghukum Joanna karena sudah berani meledeknya di media sosial. Dia ingin Joanna menghormati posisinya sebagai redaktur, meskipun baru dua bulan bekerja. Mau tak mau, posisi Bayu tetap lebih tinggi, tidak dihitung siapa yang bekerja di sana lebih dulu. Bayu menyadari rasa kurang hormat karyawan di bawah wewenangnya tidak hanya ditunjukkan oleh Joanna dan Robby. Tim peliput lain pun ada yang bersikap sama. Maka dari itu, Bayu ingin sedikit menunjukan taring sebagai atasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diurnarii
RomanceSampai kapan seseorang bisa memegang komitmen, apabila berdiri di persimpangan antara yang benar dan yang diinginkan? Sanggupkah dia menentukan pilihan?