Tak Bisa Dimaafkan

1.3K 67 0
                                    

"Pak, tolong jangan kurang ajar sama saya!" teriak Joanna terkejut. Dia berusaha melepas lilitan tangan Bayu yang tiba-tiba memeluknya dari belakang.

Bayu tergelak sebelum menegaskan niatnya. "Kamu tahu kalau aku ingin lebih dari ini."

"Tolong lepaskan atau saya teriak!" bentak Joanna di sela tangis tanpa suara.

"Silakan aja, nggak ada orang lain di sini. Seenggaknya aku bisa mendapatkan sesuatu sebelum Mandala datang." Bayu tergelak semakin keras.

Sedangkan Joanna terus meronta, berusaha melepaskan diri, dia ingin lari ke mana saja. Yang penting pergi menjauh dari iblis berwujud manusia yang kini mengunci gerak tangannya.

"LEPASKAN!" teriak Joanna lebih keras.

"Nggak akan sebelum--"

Joanna menyikut perut Bayu sekuat yang dia mampu. Merasakan lilitan tangan Bayu sedikit mengendur, Joanna tak mau kehilangan kesempatan. Dia menginjak kaki Bayu. Sontak Bayu mengerang kesakitan. Joanna menginjak kaki Bayu lagi, lebih kuat karena emosi yang bergejolak mempengaruhinya untuk bertindak kasar. Tidak ada waktu memikirkan pantas dan tidak pantas, yang ada di benak Joanna adalah menyelamatkan diri.

Joanna mengambil langkah seribu saat pelukan Bayu terlepas. Laki-laki itu membungkuk, menahan sakit di bagian perut juga kaki. Joanna lari sekencang mungkin menuju lift kalau perlu turun lewat tangga darurat pun akan dia lakukan. Jangan sampai Bayu mendapatkannya lagi.

"Di El!" pekik Joanna. Dia berhambur memeluk Mandala yang berpapasan dengannya di dekat deretan kubikel.

Mandala mengernyit. Desainer grafis itu dilanda kebingungan kala melihat Joanna menangis, badannya bergetar hebat. "Kamu kenapa, Jo?" Mandala menyentuh kedua pundak Joanna, mendorongnya agar wanita itu mengurai pelukan.

"Bawa aku pergi sekarang!" gertak Joanna setengah memaksa.

Bukannya lepas dari pelukan Mandala, justru Joanna mengeratkan lilitan tangannya di tubuh sang layouter. Dia begitu takut dan trauma dengan pelecehan yang dua kali dialaminya.

"Iya, tapi cerita kamu kenapa?"

"Aku mau pergi sekarang!" Joanna menghentakkan kakinya. Dia masih sesenggukan dan membenamkan wajahnya di dada Mandala.

Mandala menahan semua pertanyaan yang tertahan di ujung lidah. Kenapa Joanna menangis? Apa yang terjadi di ruangan Bayu? atau masalah apa yang membuatnya sampai seperti ini? namun, untuk sekarang dia harus menenangkan Joanna. Dia rasa kurang tepat kalau harus mencerca Joanna dengan segudang pertanyaan yang ingin dia ketahui jawabannya. Mandala merangkul Joanna dari samping lalu mengajak reporter itu pergi meninggalkan kantor.

"Pulang?" tanya Mandala memecah keheningan. Mobil mereka sudah lima menit meninggalkan area parkir kantor.

"Tetep ke konser," sergah Joanna.

"Baiklah, tapi kamu harus cerita ada apa dan kenapa tadi bisa—"

"Aku mau cerita, tapi sekalian sama Robby," potong Joanna.

"Kenapa harus sama Robby? Apa aku nggak berhak tahu tanpa Robby tahu juga?" cecar Mandala yang seketika terbakar api cemburu.

"Kalau kamu nggak mau nganter. Nggak apa-apa kok. Turunin aku di sini!" sergah Joanna. Emosi wanita itu sedang tidak baik, malah Mandala membuatnya bertambah kesal dengan sikap cemburu yang kekanakan.

"Bukan gitu, Jo. Aku cuma ... udahlah. Kamu tahu jawabannya," tutur Mandala pasrah. Dia pun seringkali bingung menempatkan diri sendiri. Ditambah lagi, Joanna dan dirinya tak pernah mengikat jalinan apapun selain sama-sama suka. Mandala menghela napas, "Apa iya, kita sama-sama suka? Kenyataannya cuma aku yang mengaku cinta. Sedangkan Joanna ... kamu membiarkan semuanya ambigu, Jo. Lalu ada Robby. Aku nggak tahu mana yang akan kamu pilih antara aku dan dia? Atau malah ...."

DiurnariiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang