Nggak Bisa Bohong

911 61 3
                                    

Robby mengintip dari luar pagar sembari memencet bel beberapa kali. Dia berjinjit dan melongok ke dalam. Sayangnya, dia tak bisa melihat ada orang apa tidak di rumah itu. Diulanginya memencet bel, sesekali Robby mengusap-usap telapak tangan untuk menghangatkan badan. Jam yang melingkar di pergelangan tangan baru menunjukkan pukul setengah enam, waktu yang terlalu pagi untuk bertamu. Tetapi, laki-laki itu tak bisa menahan rasa ingin tahu bercampur khawatir yang menggangggunya sejak kemarin malam.

Robby tersenyum ketika terdengar suara anak kunci di putar dari dalam pagar. "Selamat pagi Pak Robby," sapa wanita berseragam biru muda yang setiap hari menjaga Celyn.

"Joanna ada? Em maksudku, Bu Joanna," tanya Robby lugas.

Wanita itu mengangguk sebelum menjawab, "Ada, silakan masuk."

Robby masuk ke pekarangan rumah Joanna, sedangkan baby sitter tadi menutup pagar kembali lalu menuntun langkah Robby memasuki halaman rumah Joanna.

"Silakan duduk, Pak. Saya panggilkan Bu Joanna dulu," ucapnya sebelum masuk ke rumah. Wanita paruh baya itu sudah tahu, kalau Robby menolak masuk ke ruang tamu apabila Rizki atau anggota keluarga lain tidak ada di rumah.

"Terima kasih." Robby duduk di kursi rotan yang terletak di sisi kiri teras rumah. Dari posisinya duduk saat ini, dia bisa melihat pemandangan yang lumayan sejuk di taman samping.

"Heii, selamat pagi, Rob," sapa Joanna saat keluar dari pintu yang dibiarkan terbuka. Dia meletakkan nampan dan menurunkan dua cangkir kopi yang sengaja dibuat. "Ngopi nih," tawar Joanna.

"Makasih. Lo keliatan capek banget. Semalem balik jam berapa?" cecar Robby.

"Gue baru lanjutin perjalanan ke rumah subuh tadi."

"Hah! Serius?!" sergah Robby dengan mata membeliak.

"Iya, ceritanya panjang, Rob. Masa gue harus cerita sekarang," keluh Joanna sebelum menghirup kopinya perlahan, lalu menyesap minuman favoritnya itu.

"Sekarang atau nanti apa bedanya. Gue udah terlanjur penasaran, cerita aja napa?"

"Gue sama Mandala terpaksa tidur di mobil. Nggak bisa balik karena akses jalan ketutup pohon tumbang juga tanah longsor kecil," terang Joanna menjelaskan kronologi yang dialaminya tadi malam.

"Lalu?"

"Ya, aku sama Mandala tidur di mobil sampai ada bantuan datang," jawab Joanna.

"Lo nggak ... sorry, pikiran gue udah terkontaminasi. Tapi ... gue ... cuma—"

"Nggak lah. Bego apa? Malahan ... " potong joanna. Masih jelas teringat apa yang terjadi selama dia dan Mandala tidur di mobil. Hanya ada mereka berdua di sana, tempat sepi dan hujan gerimis yang turun sepanjang malam. Itu situasi yang bisa dimanfaatkan siapa saja untuk ....

"Kamu bawa obat atau apa, untuk meredakan sakit kepalamu itu?" tanya Mandala setelah menyentuh dahi Joanna.

Joanna mengangguk, masih memegangi pelipisnya yang berdentam makin jadi. "Aku dah minum tadi. Efek untuk sakitnya belum kerasa, malahan jadi ngantuk banget. Makanya aku nyaranin buat cari penginapan," tutur Joanna.

"Oh, jadi itu alasannya. Ya, aku tadi agak heran kenapa kamu punya saran itu. Kamu pindah ke kursi belakang gih, tidur sana!" perintah Mandala seraya menggerakkan kepala menunjuk jok penumpang.

"Kamu nggak apa-apa aku tinggal tidur?"

"Nggak apa-apa. Emang aku anak kecil yang bakal nangisin emaknya? Dah sana!"

Joanna tersenyum sebelum membuka pintu mobil lalu turun, berpindah ke jok penumpang bagian tengah. Dia menggeletakkan tas peralatannya di karpet bawah, lantas menyandarkan punggungnya setengah rebahan. Wanita itu risi kalau harus rebahan begitu saja. Sebab, dia hanya berdua dengan seorang laki-laki yang dia tahu sedang menaruh hati padanya.

Joanna tentu punya prasangka buruk. Apa saja bisa terjadi saat itu. Pun Joanna belum mengenal Mandala terlalu dalam. Dalam hati, wanita itu terus berdo'a agar Mandala tak berbuat macam-macam, atau malah ada orang jahat yang mendatangi mereka yang berada jauh dari pemukiman warga. Karena lelah juga kantuk efek minum obat, Joanna akhirnya tertidur begitu saja.

"Udah. Terus gue kebangun pas ada beberapa orang yang ngetok kaca jendela mobil. Kaget banget waktu itu," tutur Joanna mengakhiri sesi reka ulang kisah semalam, "kopinya diminum gih, nanti dingin."

"Siapa yang ngetok kaca mobil?" sergah Robby.

"Beberapa warga yang membuka akses jalan. itu pun udah jam tiga pagi. Sejam kemudian kita bisa lewat, dan pulang."

"Lalu Mandala. Maksudku, dia tidur atau ke mana?" selidik Robby.

"Pas gue bangun, dia masih tidur. Nyender di pintu mobil tepat di samping gue, duduk di bawah lagi. Gue nggak tahu sejak kapan dia tidur di situ," terang Joanna lebih detil. Reporter wanita itu pun, masih bingung kenapa Mandala tidur di sampingnya, sedangkan di jok belakang masih ada bangku panjang yang kosong. "Kenapa sih, Rob?"

"Gue udah bilang. Kalau otak gue lagi terkontaminasi," tegas Robby.

"Ya ampun, Rob. Ya kali gue nggak bisa jaga diri. Lagian, Mandala baik kok."

Robby mengangkat cangkir, mengesap perlahan sembari menurunkan emosinya agar lebih stabil. "Bener? gue cemas aja sama lo yang nggak bisa dihubungi," dalih Robby.

Joanna menghela napas, bingung dengan perubahan sikap yang ditunjukkan Robby. Kenapa laki-laki yang selama ini bersamanya itu jadi protektif. Dulu Robby tidak begitu, santai saja Joanna mau dekat dan pergi dengan siapa. Tidak terlalu ingin tahu, apa, kemana, pulang jam berapa? Pokoknya Robby berubah total di mata Joanna.

"Jo, malah diem?" tanya Robby saat meletakkan cangkir kopinya di atas meja.

"Rob, gue nggak bisa bohong sama lo."

"Lo pernah bohong sama gue apa?" cerca Robby dengan alis bertaut.

"Belum pernah. Awalnya aku mau pura-pura biasa aja. Tapi ...."

"Tapi apa?" cerca Robby.

"Gue bener-bener suka sama Mandala."

~~~~~

Haii haiii mana suaranya yang kangen sama Joanna? Komen dong komen, aku maksa nih.

Gimana kesan kalian sampai di part ini, kasih tanggapan dong. Aku kepo nih, wkwkwkwk

Selesai baca jangan lupa klik bintang yes, love you all.

Salam

Yuke Neza

DiurnariiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang