"Masuk," seru Bayu setelah mendengar bunyi ketukan pintu.
Robby memutar pegangan pintu ruangan Bayu, mendorong perlahan sampai terbuka sempurna. Laki-laki berambut coklat itu menggerakkan kepalanya, dia mempersilakan Joanna masuk lebih dulu.
Joanna melangkah dengan senyum terukir di bibirnya, dia suka sikap manis yang dilakukan rekan kerjanya. Robby menutup pintunya kembali sebelum mengekor langkah Joanna yang sudah duduk di kursi diskusi.
"Bagaimana hari ini?" tanya Bayu lugas. Pria 32 tahun itu mengalihkan pandangan dari komputer saat Joanna duduk di depannya, disusul Robby yang mengambil kursi di sebelah Joanna.
"Baik dan lancar, Pak. Apa ada yang lain?" tanya Joanna. Dia menepuk paha Robby yang tidak menanggapi pertanyaan Bayu. "Bisa-bisanya main hape di saat begini. Kena damprat baru tahu rasa!" batin Joanna geram.
"Robby?" panggil Bayu lantang.
"Iya Pak." Robby membenahi posisi duduknya yang senderan menjadi tegak menghadap ke arah Bayu.
"Ada masalah?" Bayu memancing pernyataan dari dua orang yang mendadak diam dan salah tingkah di depannya. Dia punya prediksi kalau Joanna dan Robby memikirkan komentar yang dia tuliskan untuk membalas postingan Joanna tadi pagi.
"Tidak Pak. Saya mau minta izin Pak," ucap Robby ragu-ragu.
"Untuk?" sahut Bayu yang sengaja berlagak marah dengan tujuan menyiutkan keberanian Joanna juga Robby.
"Begini Pak, tadi itu Joanna pingsan. Dia kurang enak badan dan saya rasa ... dia butuh izin cuti."
Joanna sontak menoleh tajam pada Robby. Dia tak percaya kalau Robby mengingkari janjinya untuk tak menceritakan apa yang terjadi tadi siang.
Bayu tersentak, menahan napas beberapa detik dengan alis bertaut. Dia pun memperhatikan Joanna yang nampak baik-baik saja. "Apa benar yang Robby bilang, Jo?" tanya Bayu.
Sorot mata tajam Bayu menyiratkan rasa ingin tahu yang dalam. Hatinya tergerak untuk peduli dan penasaran dengan apa yang terjadi pada Joanna.
"Saya belum sarapan saja, Pak. Bukan masalah serius," elak Joanna. Dia melarang Robby bercerita pada siapapun termasuk Bayu sebab tak ingin dikasihani oleh orang lain. Empati yang ditunjukkan orang, justru membuat Joanna tidak nyaman dan risi.
Robby geleng-geleng kepala. Dia masih belum mengerti dengan prinsip Joanna yang tidak mau dipandang lemah atau dianggap butuh bantuan orang lain, seolah menolak kodratnya sebagai perempuan.
"Mana yang benar?" Bayu menautkan alis. Ditutupnya laptop yang sedari tadi berpendar, otaknya yang lelah bertambah kusut mendengar pernyataan kontradiktif dari rekan satu timnya. Bayu memijit pelipis sembari merebahkan punggungnya yang pegal, karena seharian ini dia tak beranjak dari meja kerja menatap layar laptop dan personal komputer sekaligus.
"Begini Pak ...." ucap Joanna dan Robby bersamaan.
Robby menengadahkan tangan sembari tersenyum pada Joanna. Kemudian Joanna menjawab, "Saya baik-baik saja Pak. Besok tetep bisa masuk kerja."
"Tadi, Robby bilang kamu pingsan. Apa benar? Istirahat di rumah saja kalau perlu. Nanti biar saya yang mengurus surat izinmu," usul Bayu.
Joanna dan Robby terhenyak, mereka beradu tatap. Dalam diam mempertanyakan kebenaran kalimat yang keluar dari mulut Bayu. Benarkah, apa yang mereka dengar barusan?
"Jawab Jo," bisik Robby setengah marah. Dia melotot pada Joanna yang mematung.
"Tidak perlu, Pak. Terima kasih atas perhatiannya," kilah Joanna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diurnarii
RomantizmSampai kapan seseorang bisa memegang komitmen, apabila berdiri di persimpangan antara yang benar dan yang diinginkan? Sanggupkah dia menentukan pilihan?