Perhelatan telah sampai pada masanya. Ulang tahun berdirinya Alpha TV, merupakan puncak acara tahunan yang selalu ditunggu-tunggu. Mereka tidak merayakan sendiri peringatan besar itu, melainkan menggelar pesta untuk semua penonton yang setia mengikuti program-program channel Alpha TV. Khusus malam ini adalah siaran langsung konser akbar yang mendatangkan artis juga penyanyi kenamaan ibukota. Separuh karyawan lain sudah selesai dengan tugas mereka. Sementara malam ini, tugas besar Robby baru dimulai. Kameramen memiliki peran vital untuk mengabadikan momen.
"Makasih ya, Di. Udah mau nemenin aku periksa," tutur Joanna saat mereka keluar dari klinik kesehatan. Kondisi badan Joanna memang tidak terlalu bagus belakangan ini. Karena permintaan Robby dan desakan Mandala, Joanna pergi ke dokter langganan yang biasa dia datangi.
Mandala tersenyum dengan tatapan lurus ke depan, menerawang lorong klinik dokter keluarga yang dia lewati bersama Joanna. Laki-laki itu sedikit berandai, jika saja antara dia dan Joanna adalah sepasang ... tapi sudahlah. Mandala menggeleng keras, menepis benak yang terlalu banyak berkhayal. Bagaimana mungkin semua itu bisa terjadi dan Mandala tak memaksakan hal itu untuk terjadi.
"Kita nyusul Robby ke tempat konser, yuk?" ajak Joanna.
"Boleh, kalau kamu mau ke sana. Mampir ke kantor bentar ya, ada berkas yang harus kuambil. Tadi, anak marketing bilang, dia naruh berkas di mejaku. Mau kugarap sampainya di rumah nanti," papar Mandala.
"Iya. Jalannya searah ini, emang kamu nggak mau nonton konser sampai selesai?" tanya Joanna lagi, sesaat setelah dia dan Mandala masuk ke dalam mobil.
"Belum tahu. Kita lihat aja nanti," ucap Mandala. Laki-laki dengan nama lengkap Mandala Husein itu menyalakan mesin, melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke kantor, cukup lima belas menit kalau jalanan ramai lancar. Keduanya masuk ke lobby, melangkah menuju lift hendak ke lantai enam. Joanna menghela napas saat dari kejauhan melihat Bayu. Redakturnya itu tengah berdiri menunggu lift menuju lantai atas.
"Ngapain Pak Bayu masih di kantor?" gumam Mandala ketika dia dan Joanna melangkah semakin dekat menuju lift yang sama dengan Bayu.
"Nggak tahu juga, Di. Harusnya dia ke tempat konser kan? Semua anggota tim kita ada di sana. Kantor dah sepi ini," imbuh Joanna berspekulasi.
"Selamat malam, Pak," sapa Mandala beramah tamah.
Yang dipanggil menoleh ke sumber suara dengan senyum kecil yang dipaksakan. Joanna memutar bola mata dengan bibir mengerucut. "Elah pelit banget senyum gitu doang."
Belum sampai Bayu menjawab sapaan Mandala terdengar denting pintu terdengar, mereka bertiga masuk ke lift.
"Bapak masih di sini?" tanya Mandala mencairkan suasana. Sedangkan Joanna yang sedari awal enggan melihat penampakan Bayu, lebih memilih diam dan mendengarkan.
"Ada sedikit masalah yang harus secepatnya saya selesaikan," jawab Bayu sembari memainkan ponsel di tangannya. Tindakan yang dianggap tidak sopan menurut Joanna, tapi sering dilakukan oleh Bayu. Laki-laki itu mendongak kala teringat sesuatu. "Oh ya, Jo. Ada pihak yang merasa keberatan dengan berita yang kamu tulis. Maka dari itu, apa kamu bisa ke ruangan saya sebentar?" tanya Bayu hati-hati. Sebab, dia tahu hari ini Joanna libur.
Redaktur itu sebenarnya ingin menanyakan untuk apa Joanna datang ke kantor, tapi tak enak hati mencampuri urusan orang lain. Apalagi Joanna datang bersama Mandala.
"Apa benar, Pak?" sergah Joanna. Wanita itu terkejut, siapa yang keberatan? Berita yang mana pula?
"Benar, saya sendiri terkejut. Namun, kepala penanggung jawab direksi memanggil saya sore tadi. Mau tak mau saya harus mengecek ulang. Dan memang ... baiknya kita bicarakan di ruangan saya saja," ajak Bayu.
"Wah, jangan sampai ditarik dari pasaran kalau bisa, Pak. Itu akan mencoreng nama kita di mata masyarakat," kata Mandala menyuarakan praduga yang langsung terpikir olehnya.
Joanna mendadak gelisah, apa yang harus dia lakukan. Sementara angka yang memberitahukan keberadaan lift sudah menunjukan sampai lantai tiga. Wanita itu tak ingin mengambil resiko, dengan ikut bersama Bayu ke ruangannya seorang diri hanya mereka berdua. Karena Joanna tahu, semua karyawan lapangan yang satu atap dengannya, tengah menonton konser yang diselenggarakan. "Di, kamu bisa ikut sama aku aja nggak sih?" benak Joanna sembari meremas-remas jari tangannya sendiri.
Tenggorakan Joanna tercekat kala denting pintu terbuka, mereka sudah sampai di lantai lima. Keringat dingin membasahi telapak tangan Joanna. Tubuhnya terpaku di tempat dia berdiri saat ini. Jika saja boleh, Joanna ingin menolak atau setidaknya bergelayut manja pada Mandala agar mau menemaninya ke ruangan Bayu.
"Mari, Jo," ajak Bayu melewati ambang pintu lebih dulu. Dia berhenti di luar lift sambil memandang Joanna yang masih tak bergerak.
"Jo, ditunggu Pak Bayu tuh. Aku mau naik ke lantai enam," ucap Mandala. Laki-laki itu tidak tahu kecemasan yang mendera Joanna saat ini. Joanna pun belum menceritakan kelancangan yang pernah dilakukan Bayu.
Joanna merutuki kebodohannya, kenapa dia bisa luput bercerita pada Mandala. Bagaimana sekarang, Joanna tetaplah wanita yang tak punya kekuatan untuk melawan laki-laki jika sudah berbuat nekat. Joanna menoleh ke samping, ditatapnya Mandala dengan mata berkaca-kaca. Sorot mata memohon pengertian Mandala, berharap laki-laki yang dicintainya itu mendengar jerit hatinya.
"Jo, kenapa masih berdiri di situ?" desak Bayu. redaktur sialan itu tak memberi pilihan pada Joanna, pun pikiran wanita itu sudah terlanjur buntu. Tak tahu harus berbuat apalagi.
"Pak, saya mau iku DL ke lantai enam dulu. Nanti baru nyusul ke ruangan Bapak," kilah Joanna yang sudah kehabisan ide. Cuma itu jalan terbaik yang terlintas di kepalanya.
Mandala dan Bayu terhenyak. Keduanya dibuat bingung dengan penolakan yang ditunjukkan Joanna. "Ada perlu penting dengan Mandala?" tanya Bayu kemudian.
"Em iya, Pak. Saya dan Mandala harus mengambil berkas penting yang tertinggal. Iya kan, Di?" Joanna beralih menatap Mandala. sudut mata Joanna sudah basah oleh bulir bening yang siap menitik kapan saja.
"Kamu ikut Pak Bayu aja dulu. Aku ngambil berkas doang. Nanti langsung turun lagi," perintah Mandala.
Joanna tak bisa bicara. Seolah merasakan dirinya didorong ke sarang harimau oleh orang yang dicintainya. Tak ada alasan lain yang bisa disanggahkan Joanna untuk tak turut pada perintah Bayu.
"Ayo, Jo. Ini sudaah malam, saya pun ingin nonton konser juga," kata Bayu sembari melangkah pergi.
Joanna mengekori Bayu dengan langkah pelan. Di saat seperti ini dia membutuhkan Robby. Ya, wanita itu memohon keajaiban agar Robby atau siapa saja datang. Joanna membuka pintu ruang redaktur dengan enggan. Wanita itu sengaja tak menutup pintunya lagi. Joanna pun memilih duduk di kursi diskusi, bukan kursi tamu di depan meja kerja Bayu.
"Kenapa duduk di situ, Jo?" tanya Bayu yang sedang merapikan beberapa kertas A4.
"Nggak apa-apa, Pak. Saya cuma ingin melihat pemandangan dari sini," dalih Joanna. Dalam hati dia terus merapal do'a, semoga Mandala cepat menyusul.
Bayu menyeringai licik kala melangkahkan kakinya semakin dekat menghampiri Joanna. Laki-laki itu tahu betul perasaan yang disembunyikan Joanna saat ini, khawatir dan takut. Menurut sudut pandang Bayu, Joanna pasti trauma dengan kejadian waktu itu. Bayu tak akan melewatkan kesempatan emas ini, kapan lagi dia bisa berduaan dengan Joanna. Tanpa ada pengganggu, baik Robby, Mandala, atau siapapun.
Joanna sengaja menyibukkan diri dengan memainkan game di ponselnya. Untuk mengusir pikiran buruk yang terus saja mengganggu. Sedangkan Bayu ingin mengambil kesempatan karena Joanna tak fokus dengan jarak mereka yang semakin dekat.
"Pak, tolong jangan kurang ajar sama saya!" teriak Joanna terkejut. Dia berusaha melepas lilitan tangan Bayu yang tiba-tiba memeluknya dari belakang.
Bayu tergelak sebelum menegaskan niatnya. "Kamu tahu kalau aku ingin lebih dari ini."
~~~~~
Halooo pembaca yang baik dan budiman, kuucapkan selamat berpuasa untuk kamu yang menjalankannya.
Silakan komen sesuka hati setelah baca bab ini, jangan lupa klik ikon bintang ya, terima kasih.
Big love
Yuke Neza
KAMU SEDANG MEMBACA
Diurnarii
RomanceSampai kapan seseorang bisa memegang komitmen, apabila berdiri di persimpangan antara yang benar dan yang diinginkan? Sanggupkah dia menentukan pilihan?