-30-

33 4 0
                                    

Tak menentu. Mungkin perasaan itulah yang selalu dan selalu Sean rasakan belakangan ini. Di satu sisi ia ingin Kama kembali. Tapi di satu sisi ia takut di hianati kembali oleh cinta itu sendiri.

Hari ini minggu pagi. Tak ada Kama yang mengetuk pintu seperti minggu minggu yang lalu. Terasa sangat membosankan dengan alunan melodi yang Sean setel dari playlist ponsel nya.

"Tetaplah engkau disini, jangan datang lalu kau pergi. Jangan anggap hatiku, jadi tempat persinggahanmu. Untuk cinta sesaat" -hivi-pelangi.

Serangkaian lagu itu....

"Tu lagu ngeselin banget ya" besit Sean di fikiran.

Tok. Tok.

"Masuk aja. Pintunya nggak di kunci. Tapi orangnya lagi frustasi." intruksi Sean membuat orang yang mengetuk pintu tertawa lepas.

"Hahaha..... Sean kenapa? Frustasi kenapa?" Ucap mama membuat Sean terkejut.

"Eh.. em.. mama? Kirain Attala" ujar Sean mencoba tenang.

"Mama liat akhir akhir ini, anak sulung mama sedih terus. Kenapa?" Tanya mama ingin tahu.

"Nggak papa ma. Cuman..."

"Cuman apa? Kama?" Tebak mama pasti.

"Iya" angguk Sean lemah.

"Emang ada apa?"

Sean menceritakan setiap detailnya secara rinci. Ia tak ingin merahasiakan masalah itu pada mamanya terlalu lama. Ia sangat tahu mamanya adalah seorang pendengar yang baik.

"Oh.. gitu.. ya, mama tau Kama salah. Tapi kamu juga salah An.."

"Iya ma.. Sean juga tau" serah Sean. "Tapi yang Sean sesalin dari Kama, kenapa dia juga sering ngehindar dari Sean. Dia berusaha acuh sama Sean ma.." tatap Sean penuh penyesalan.

"Mungkin dia punya cara sendiri An.. kita nggak boleh mikir yang aneh aneh tentang Kama. Dia anak yang baik nak.."

"Tapi Sean nggak sanggup terus digantungin ma.."

"Gini aja, kalau dia masih diemin kamu dan acuhin kamu tiga bulan kedepan, kamu berhak putusin masalahmu sendiri. Tapi kalau kurang dari itu kamu harus bener bener baikan sama Kama"

"Tapi mah.."

"Nggak ada tapi tapi an"

"Oh.. ok.. terserah mama"

"Kamu nggak boleh dikalahin sama ego kamu sendiri Sean.. inget itu baik baik"

"Iya"

"Nah... senyum dong... itu udah mama buatin teh di teras depan"

"Oke mah! Makasih ya ma sarannya... Sean seneng punya mama kayak mama"

"Ahh... kamu kayak drama korea aja. Udah sana kedepan, emang nggak bosen di kamar terus?"

"Siap bos!"

Mama itu pecinta green tea.
Yang pasti tanpa gula.
Ia menyukai hal hal yang unik, sama sepertiku.
Ia selalu suka mendengar anaknya bercerita tentang hidupnya.
Katanya, hidupnya berwarna dengan para cerita yang ia satukan.
Dulunya, ia ingin menjadi ilmuwan. Tapi nyatanya tidak.
Faktanya, ia tetap mamaku.
Juga peri yang selalu menghiasi gelapnya malam dengan sinar angkasa.
Akan selalu begitu.
Dan akan seperti itu.

****

Uap panas masih mengelilingi cangkir peach kesukaan Sean. Sean menaruh kedua telapak tangannya tepat diatas uap itu. Cuaca diluar memang sedang tidak bersahabat. Hujan deras sedang mengguyur sekelilingnya saat ini. Tak heran memang akhir akhir ini, walaupun pagi pun, hujan sudah menyapa wilayah Sean.

Di meja. Sudah ada beberapa bolpoin merah jambu dan sebuah notebook silver bertipe hologram yang menemani Sean kali ini.

"Setiap hujan, adalah setiap inspirasi didalamnya" Ucap Sean lirih.

Ia selalu suka menciptakan kata kata. Apalagi saat hujan seperti ini. Seakan akan segala ide dan inspirasi terpasok ke dalam fikirannya saat itu juga. Menurutnya di saat saat seperti hujan ini merupakan saat saat yang indah.

Aku dengan sejuta anganku.
Yang terkait dengan alasan tak menentu.
Kamu dan aku.. yang seperti tak pantas untuk bersatu.
Tapi sayangnya langit pernah mengizinkan kita untuk bersama.
Sampai akhirnya jatuh dan lebur dalam satu kata kecewa.

"Mimpi lo terlalu tinggi buat jadi penulis terkenal.." Ucap Sean pada dirinya sendiri.

Perasaannya mulai tak karuan. Tak kuat menahan air mata yang membendung. Memang kodrat perempuan untuk menangis dan menyesali. Ia membawa sekaligus meratapi bunga mawar yang Kama berikan saat awal mereka jadian dulu.

Ia meletakkan bolpoin dan notebook nya. Berlari. Merasakan guyuran hujan yang mengepung. Mawar yang ia pegang masih ia bawa di bawah tangisan awan.

"Dulu lo kasih bunga ini saat kita jadian Kam. Alasan lo nggak kasih mawar yang asli karena katanya cepat layu, makanya lo kasih yang sintetis. Gue bener bener bingung pas lo kasih. Karna lo bener bener cuek dan dingin. Kita juga masih bener bener polos dulunya" rintih Sean.

"Lo tau nggak Kam. Gue takut kehilangan lo. Suara lo buat pengen gue rekam dan gue setel jadi musik di playlist lagu. Lo bener bener irit kata. Suara lo langka" Tambah Sean.

"Bisa jalan berdua itu sebuah pencapaian luar biasa untuk kita. Entah versi apa tipe pacaran kita ini. Hingga kita hampir satu tahun menjalani kisah ini" Sean tersenyum sendu.

Keadaan nya yang sekarang ini sudah benar benar tidak bisa terkondisikan. Ia menangis dan menangis. Meluapkan segala emosi dan segala apa yang ia rasakan saat ini. Wajahnya pucat dan bibirnya bergetar.

Sedetik.

Dua detik.

Ia tak merasakan lagi hujan yang membasah. Matanya tertutup seketika. Ia bingung dan memilih untuk mengikuti apa yang tangisan awan itu beri untuknya.

KAMASEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang