[ Bagian 2 : Distrik 2 ]

129 15 17
                                    

Sebuah teriakan mengagetkan beberapa orang, termasuk diriku yang nyaris melompat dari kursi keras ini. Para tukang teriak itu adalah fanatik bola yang belum sempat melihat siaran langsung pertandingan piala Ursulanda malam lalu.  Sebuah hal yang cukup menarik, mengingat satu-satunya media kredibel untuk melihat kejadian di seantero dunia yang  menampilkan siaran propaganda dan doktrinasi pemerintahan Agni,pertama kalinya menayangkan siaran pertandingan olahraga mulai malam kemarin.

Akan tetapi, tidak semua orang menikmati kebaruan ini. Beberapa orang mendecak bibir, seperti dua pria disampingku yang  antipati dengan apapun yang disebut sepakbola.

" Ck...apa yang mereka suka dari kerumunan yang mengejar satu bola?"

"Lucu sekali. Kenapa tidak berikan saja masing-masing satu orang satu bola? Impas bukan?"

" Entahlah, siapa yang menciptakan permainan aneh itu? mungkinkah pemerintah?"

" Kau tidak belajar sejarah ya?, Ini sudah ada jauh sebelum peperangan dan segala kekacauan ini. Dalam artian, ini permainan kuno."

" Hanya orang-orang kuno yang memainkan permainan kuno, dan euforia mereka itu loh...ayolah ini Trem, bisakah mereka tenang dan berhenti berteriak? Bagaimana jika mereka menginjak kaki salah satu di antara...."

Tuhan sepertinya mengabulkan apa yang ditakutkan si Pria itu. Saat kerumunan heboh itu berjingkat riang dan membuat lantai Trem berguncang ngeri, sepatu boot mereka menginjak kaki si pengerutu bola. Aku memandang mereka seksama, teman obrol si pengerutu bola ikuran meremang. Bersama itu pula si penginjak kaki malah terasa tertantang bukannya meminta maaf atas kelakukannya. Pria yang kakinya terinjak itu sudah tidak tahan. Sebentar lagi, hiburan murah akan dimulai.

Beberapa detik setelah pandang-memandang penuh kebencian, orang-orang itu mulai kebanjiran adrenalin. Membuat keributan karena beberapa orang ikut melerai mereka yang baku hantam tak terkendali. Aku duduk tenang di kursiku. Bukan karena tak peduli, sudah sangat bosan melihat drama rutinan ini.

Empat hari yang lalu, seseorang nyaris terjatuh dari Trem karena tidak sengaja menumpahkan kopinya, lebih jauh lagi, dua hari berturut-turut yang lalu karena tidak sengaja memuntahkan sarapan paginya ke seseorang, baku hantam yang jauh lebih mengerikan dan menjijikan dari pada ini pernah terjadi.

Beberapa orang tampak terganggu dan memilih terlelap dalam tidur mereka. Mochtar memilih membaca buku, aku tidak terlalu yakin buku yang dia baca itu apa, namun dilihat sekilas dari bentuk buku dan usianya, perilaku membacanya termasuk nekat, tidak ada cap atau tanda bahwa buku itu masuk daftar yang direkomendasikan oleh Dewan.

Membaca sebuah buku yang tidak direkomendasikan dari Dewan Distrik berarti pelanggaran, dan setiap pelanggaran harus dihukum. Dari sampulnya saja itu nampak seperti buku tua berusia hampir seratus tahun. Pembersihan buku-buku yang tidak mendapat cap rekomendasi sudah dilakukan sejak 50 tahun lalu, diseluruh wilayah Agni, bagaimana buku kuno yang dibaca Mochtar masih bertahan? Aku tidak melihat cap ditempelkan di buku tersebut.

Mochtar memergoki diriku tengah melihatnya membaca. Aku tak bisa berkutit untuk melakukan apapun. Leherku kaku sejenak, mata kami saling berkontak. Jelas disana raut muka yang menunjukkan ekspresi terkejut dan kebingungan.

" Kau mungkin curiga dengan buku yang aku baca, tenanglah, ini sudah direkomendasikan oleh pemerintah." Jika saja Mochtar tidak menutupi bagian berstempel tersebut dengan jari-jari besarnya, aku bisa saja merebut buku tersebut dan merusaknya. Ia terkekeh dengan gelambir lehernya yang bergetar dan suara tawanya yang seperti orang mabuk. Menertawakanku yang telah berhasil ia tipu.

" Maaf, buku itu terlihat asing bagiku." Jujurku. Beberapa saat kemudian, pria yang membuatku kesal mendekat kewajahku.

" Kau tahu nak, salah satu kebebasan yang direnggut dari kita adalah, membaca. Dewan telah memutuskan buku apa yang harus kita baca selama hidup kita, tanpa diberi ijin untuk bisa mengakses buku-buku lain. mereka memaksa kita berpikir seperti apa yang mereka inginkan, dan ini sangat-sangat membuatku lelah. Hidup selama berpuluh-puluh tahun dengan membaca buku yang semaunya menganggungkan Agni dan hal-hal yang aneh lain membuat kita tidak mampu berpikir lain, membuat kita tidak bisa berpikir diluar apa yang bisa kia bayangkan. Mereka membodohi kita, membuat kita menjadi anjing penurut mereka. apa kau tidak sadar?" Mochtar memberikan buku itu padaku, aku tidak bisa bereaksi banyak melihat dia mengatakan kalimat tersebut.

Tentang Ursulanda | dan bagaimana kami memenangkannya [ TAMAT ] [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang