[Bagian 3 : Perayaan Mada ]

34 3 0
                                    

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku terbangun sebelum sirine jam beraktivitas berbunyi, mataku agak lengket ketika membuka mata. Matahari sepertinya beranjak naik, ini terlihat dari lanskap gedung-gedung apatemen yang sedikit mewujud dari balik korden. Seperti jadi keseharian, punggungku terasa pegal karena tersiksa oleh kasur yang sekeras batu, lantas dalam posisi setengah berdiri aku meregangkan tubuhku untuk melemaskannya. Aku menyibak korden dan membiarkan pemandangan cahaya matahari yang mulai menanjak naik dilihat oleh mataku, beberapa scluptural menembus awan, menciptakan perpaduan unik antara biru langit dan kemerahan awan yang indah.

Lalu, terdengar kembali lagu hymne yang jujur saja, tidak terlalu indah karena lagu itu seperti kesedihan dan kebahagiaan yang digabungkan menjadi satu. Aku mengikuti irama lagu sebagai pengantar sedikit olahraga pagi, ini lumayan cukup untuk memanaskan tubuhku yang kaku Baru beberapa saat setelah lagu selesai, suara dari wanita pagi—begitu aku menyebut suara narator wanita yang selalu terdengar dari speaker diseluruh kota— menjebol speaker apapun di kota.

Selamat pagi warga Agni, salam produktif. Ini adalah hari yang baru dan hari yang menyenangkan, mari isi hari ini dengan penuh semangat dan kebahagaiaan. Salam kehormatan, Salam kejayaan. Salam seribu tahun kejayaan Agni.

Setelah itu, pekik sirine Trem terdengar jelas. Dibawah apartemen, tepat mengerumini jalan-jalan yang kuno dan penuh rerumputan di sela-sela retakannya, banyak sosok-sosok berjalan nyaris beriringan dengan bentuk seperti garis-garis panjang yang bergerak ke depan, mereka adalah penduduk distrik 2, berbondong-bondong dengan urusan mereka masing-masing. Beberapa dinatara mereka membawa alat-alat galian manual, bersendau gurau dengan benda-benda tersebut. Sejruus di depan mereka, nampak orang-orang yang membawa keranjang anyaman dari plastik, bergumul di sekitaran Peron Trem, nampak riuh saling bercakap-cakap. Mudah ditebak, mereka pasti akan belanja sayur dan buah sisa di distrik 5. Distrik yang merupakan wilayah perkebunan dan pertanian.

Momen seperti ini muncul saat ada panen raya, tentu panen tersebut untuk memenuhi kuota pasar impor dan stok Librium. Buah-buah dan sayur yang mereka beli merupakan produk-produk yang tidak lolos sortir. Pemerintah memberikan kebebasan bagi para petani untuk mengolah produk yang cacat, begitulah maka muncul pasar buah setiap satu bulan sekali yang sangat ramai diserbu oleh penduduk Urban. Meskipun produk cacat, namun harganya lumayan mahal, aku pernah membeli wortel-wortel kerdil, mereka menjualnya dengan harga hampir 25 bit per seperempat kilo. Ini benar-benar perampokan, namun demi memakan bagaimana rasa sayuran dan buah segar, berdesak-desakan selama berjam-jam dan kehilangan beberapa bit bukan hal di permasalahkan untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

Satu objek tertinggi merefleksikan cahaya matahari ke mataku langsung, itu adalah gedung Dewan Distrik, yang nampak gagah menancap di tanah, terpancar sisinya oleh sinar matahari, memantulkannya dan nampak cerah. Gedung dengan permukaan mengkilap berwarna putih gading dan di dominasi kaca itu adalah jantung untuk keseluruhan distrik 2, namun tempat itu cukup suram bagi para pelanggar peraturan, khususnya peraturan berat. Disanalah tempat dimana para pelanggar akan di eksekusi di depan umum. Merinding aku mengingat kejadian tersebut. Namun, seluruh penduduk distrik 2 mau tidak mau harus melihat itu semua, kami menyebutnya tontonan peringatan. Semua kegiatan masyarakat akan dihentikan sementara saat itu, dan konsentrasi masyarakat di pusatkan ke gedung dewan.

Namun, dibalik itu semua, gedung dewan adalah tempat yang cukup tenang dengan kemegahannya. Terkadang, para dermawan membagikan makanan atau selimut gratis saat cuaca buruk melalui gedung dewan. Seperti ketika serangan topan yang mengerikan beberapa minggu kemarin, gedung dewan disulap menjadi tempat darurat bagi warga untuk berlindung dari terjangan topan yang meluluhlantahkan pemukiman barat laut. Itu saat-saat yang penuh krisis, aku kehilangan beberapa jemuran karenanya.

Hening, damai. Aku membuka jendela kamar dan membiarkan udara berkesiur masuk. Namun bukan sejuk bau rumput di pagi hari seperti biasa, justru aroma seperti abu pembakaran dan tanah menggelitik hidungku.

Tentang Ursulanda | dan bagaimana kami memenangkannya [ TAMAT ] [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang