[Bagian 2 : Pria dan Senjata Plasma ]

25 1 0
                                    

Riuh suara dan terompet parade menjadi pemicu kesadaranku kembali. Permukaan keras berdebu yang jadi sandaran tubuhku adalah satu-satunya hal yang membuatku ingin berdiam sejenak sambil menerka-nerka apa yang aku lewatkan beberapa saat lalu .

Aku mencoba bangun, dunia terasa berputar di kepalaku, menegakkan tubuh terasa nihil. Berbalik dengan kakiku yang lemas, Pandanganku  yang memburam berangsur-angsur kembali normal. Meskipun dengan sedikit susah payah, orientasiku yang kacau mulai kembali, kaki yang aku pikir lemas selamanya itu pula ingin juga kembali normal, aku berhasil berdiri dengannya.

Sejenak terdiam untuk menarik napasSuara Heliodrone menggelitik telinga.  Bau sesuatu yang terbakar serta teriakan riuh penduduk menjadi penanda bahwa aku masih ada di festival. Bau terbakar itu memberi arti jika perayaan telah selesai,dengan dibakarnya replika tugu menara. Sekaligus menjadi titik tolak Presiden Hoffier untuk melanjutkan perjalanannya ke distrik yang lain,  membacakan pidato kenegaraannya dan memimpin prosesi pembakaran lagi.

Benar saja, orang-orang yang memadati seluruh kawasan ini dengan cepatnya membubarkan diri. Dalam situasi seperti ini, aku masih bingung dengan yang terjadi padaku.  Memori terakhirku memberi penegasan tentang seseorang, tembakan dan kemudian rasa tersentrum, namun tidak jelas siapa orang tersebut.

Seketika, aku mengingat sebuah wajah, tapi entah wajah siapa. Namun yang jelas, Pria itu menghilang setelah menembakkan sesuatu diantara dadaku, di suatu tempat yang aku rasa tidak jauh dari sini. Aku meraba-raba bagian tersebut, dan ada luka kecil yang menciptakan lebam dengan dua lubang kecil berdempetan yang dipenuhi darah beku.

Lautan orang sudah banyak berkurang, dalam keadaan yang bingung itu memori beberapa jam lalu muncul, ya! aku tengah berada dalam pencarian Belma sebelum kejadian yang tak dapat diingat itu muncul. Rencanaku gagal karena pria paruhbaya tersebut, semoga saja Belma masih ada di antara lautan orang-orang ini. Bermodal rasa cemas-cemas harap, Aku menyusup ke dalam keramaian, menerobos kumpulan orang-orang yang nampaknya kelelahan karena terus berteriak. Aku berteriak memanggil Belma, selama hampir 5 kali lebih. Beberapa orang menengok dan mengaku sebagai Belma, namun sangat jelas mereka bukan Belma yang aku maksud. Saat tenggorokanku mulai sakit, akhirnya orang yang tepat menjulurkan tangan kelangit memberi tanda. Lantas aku mengejarnya.

Aku menekuk kaki dan mencoba bernapas, membungkuk dan mencoba menarik napas sebanyak mungkin di depannya. " Akhirnya aku menemukanmu." Ucapku agak tersengal-sengal. Seakan menemukan kembali titik labuh yang hilang.

" Kau menghilang begitu saja, saat aku menoleh ke arahmu kita sudah berpisah."

" Ceritanya panjang, aku bertemu dengan seseorang yang aneh, namanya Baron—" Entah bagaimana, aku berhasil mengingat nama Pria paruhbaya itu.

" Baron?" potongnya singkat, ekspresinya seakan menunjukkan sesuatu.

" kau kenal dengan orang itu?" Tanyaku.

Belma terdiam selama beberapa saat, kemudian menggulum senyum kecil. " Bukan apa-apa? Aku tidak mengenalnya? apa yang orang itu lakukan padamu."

"—a-aku, aku tidak ingat? Ini aneh." Aku merasa linglung dalam beberapa menit. Mendadak potongan-potongan klip memori di kepalaku hilang.

Belma mendesah pelan, wajahnya  sekarang tampak khawatir. " Kau tampak pucat, sebaliknya kita pulang dan istirahat."

Matahari sudah terik di atas puncak kepala kami waktu itu. seharian teriak-teriak dan mengikuti perayaan hari Mada memang melelahkan. Orang-orang yang banjir peluh terlihat kembali ke rumah atau asal mereka masing-masing. Belma juga nampak lelah, suaranya juga agak serak. Berbeda denganku, kepalaku masih berpuar dan berkutat mengenai identitas sebenarnya dari Pria bernama Baron itu. satu misteri besar sedang menungguku, Aku harap bisa bertemu kembali dengannya dan menanyakan perihal ini.

Tentang Ursulanda | dan bagaimana kami memenangkannya [ TAMAT ] [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang