Tak ada gambaran yang menyenangkan dari tempat bernama Gang Merah ini kecuali gedung-gedung tua yang rusak parah dan tak terawat serta lalu-lalang orang yang tidak bisa dipercaya. Satu hal yang menjadi misteri adalah, tempat ini tidak dijaga oleh seorang opas pun, bahkan tidak ada kamera CCTV rekam kunci di tempat ini, seakan-akan segalanya sengaja ditumpahkan disini, sangat dibebaskan. Aku mendapat rumor bahwa tempat ini disponsori para Perlente kaya-raya di Librium, mereka punya bodyguard serta pembunuh bayaran sewaan yang bisa dipanggil kapan saja, untuk melakukan satu-dua hal licik diluar praturan pemerintahan, disini merupakan area pasar gelap paling gelap dan paling rahasia dari Agni. Ada namun tak nampak.
Terlihat banyak Gadis-gadis polos nan lugu—aku yakin mereka dari distrik, dan ditipu oleh para Bandit Perlente untuk disewakan disini—yang dipekerjakan di rumah prostitusi sudah digamit oleh orang-orang mabuk yang ingin melampiaskan segala hasratnya segera. Bau alkohol, rokok, muntahan dan bau-bauan lain yang membuatmu mual tercampur aduk disini. Membaur dengan atmosfir yang dinuansai merah darah dan darah itu sendiri. Aku berusaha tampak normal—entah apakah kondisi orang teller yang mencumbu wanita di jalanan bisa masuk kedalam kalimat itu—dan tetap fokus untuk mencari satu bar paling terkenal di daerah ini yang dikuasai para tukang pukul dan pembunuh bayaran serta orang-orang yang aku cari disini. Para pembawa pesan.
"Cek-cek, Baron masuk." Suara dari interkom terdengar.
"Salasar dalam jaringan, semua sudah sesuai rencana. Aku sudah di depan Redgang Bar, aku akan masuk." Ucapku lirih saat berada didepan gedung ini, aku mencoba menghubungi Baron kembali namun hanya gemersak saja yang terdengar. Beberapa orang melihatku aneh, baiklah aku berperilaku wajar dan berusaha tak terlalu mencolok. Aku masuk kedalamnya dan mereka menatapku sekilas, baiklah semua sudah berada dijalur yang tepat. Aku mendekati seorang bartender dan beberapa orang-orang yang saling memukul serta seseorang lagi yang tampak sekarat dengan luka-luka disekujur tubuhnya, bahkan aku melihat tetesan darah mengucur dari tubuh bagian kanan. Bartender itu tampak berbeda dengan kepala dimana rambut berada malah dipenuhi tato dengan pola paling rumit yang pernah aku lihat. Ia menatapku sebal dan sama sekali tidak ramah. Lalu, kedua alisnya saling bertaut dan menatapku curiga.
"Kau orang baru ya? Selamat datang." Tangan pria itu masih memegang lap dan mengelap gelas yang ada didepannya.
"Mau minum?" tawarnya.
"Tidak, terima kasih. Aku ingin bertemu dengan Karanto, ada pesan yang ingin aku sampaikan padanya. Ini dari Jonah." Jawabku. Pria bartender itu berdiam sejenak dan ia memberikan gerakan mata aneh, namun aku yakin itu bukan untukku. Beberapa detik setelah moment tersebut, dua pria besar berjas menarik paksa diriku dan membawaku ke lantai atas. Ia menyeretku kasar dan kakiku bahkan tidak menapak sempurna di tangga kayu. Salah satu diantara mereka, pria dengan rambut yang keren menurutku membuka pintu pelan dan sedikit berbincang didalamnya, kemudian ia menutupnya kembali dan mendorongku paksa kedalam kamar tersebut.
"Terima kasih atas tumpangannya, itu sangat nyaman." Sindirku agak keras.
Ternyata perkiraanku salah, didalam sini bukan kamar tapi sebuah lorong panjang dengan vas-vas berisi bunga mengerikan seperti kaktus berduri panjang dan flytrap seukuran jendela. Pria yang tadi menentengku ke atas itu berjaga di depan pintu berwarna putih gading yang muncul di depan kami, seakan-akan ada Tirai besar yang menutupinya. Ia menggamit lengan kananku paksa dan menyeretku kembali sepanjang lorong berwarna merah darah dan bercahaya remang ini. Ia berbincang dengan penjaga pintu lain, terdiam dan mereka berbisik lalu menatapku ngeri, kedua-duanya.
Beberapa detik kemudian, ia menyerahkanku pada pria besar penjaga pintu tersebut dan ia lagi-lagi menggamit dan mneyeretku. Kini kami tidak lagi masuk kedalam lorong, namun ruangan indah dengan layar-layar interaktif yang menggambarkan suasana kota di atas ketinggian gedung.
"Tuan, paketnya sudah datang." Ia mendorongku kasar.
"Ayolah teman, aku punya kaki!" Aku menatapnya garang, namun dia malah memukulku kasar.
"Jangan menggunakan nada tinggi didepan ketua! " Ucapnya nyalang.
Orang yang disebut ketua itu masih menikmati alunan pemutar musik klasik. Kemudian sedikit berdehem dan berdiri dari posisinya, lalu menyuruh si penjaganya untuk kembali ke posisi semula. Sekarang hanya ada kami berdua. Ia yang masih menghadap kebalik kota virtual dan aku hanya menunggu dia berbalik dengan hidung yang tidak sengaja meneteskan darah. Ini semakin menyenangkan saja.
Pria itu berbalik, rambutnya yang klimis itu agak bergoyang saat berbalik, ia menatapku iba. Kumisnya tebal dan tubuhnya tidak lebih besar daripadaku berbalut kemeja biru dengan vest berwarna abu-abu dan dasi biru keunguan. Ia melemparkanku kain berwarna kemerahan yang dia ambil dari saku jasnya.
"Bersihkan darahmu, aku tidak suka ada darah menetes disini, kecuali aku yang melakukannya." Aku menyeka sisa darah dihidungku yang agak perih.
"Jadi, kau paket yang dikirimkan Jonah untukku. Para Pembawa Pesan akan senang dengan ini." Ia mengelilingiku seperti melihat karya seni mahal.
"Kau yang bernama Karanto bukan? Aku Arga. Dan aku ingin bertemu dengan Sang Revolusionis Agung, bawa aku pada Pembawa Pesan." Aku menatapnya balik. Mencoba menyamakan pandangannya.
"Wow, semangat sekali." Ia enepuk-nepuk pipiku seperti anak anjing. Sialan! Aku membenci hal ini.
Ia kembali ke mejanya dan menghisap cerutu model lama dengan asap yang membumbung tinggi, setelah asap itu menggelitik hidungku baru kusadari itu merupakan cerutu asli, dari tanaman yang nyaris punah bernama tembakau. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menikmati rokok sesungguhnya. Orang ini jelas bukan orang biasa-biasa saja. Setelah dua kali hisap, dia mengehembuskannya tepat kewajahku dan membuatku batuk-batuk.
"Jadi, kau ingin menemui mereka? Para Pembawa Pesan? Kau yakin bisa membuat mereka percaya padamu?" Ia meremehkan kehadiranku dengan tatapannya. Jika bukan karena misi, sudah ku buat wajah itu babak belur. Aku menatapnya dengan dalam, segaris darah segar kembali muncul dari hidung.
"Alasanku datang kemari sudah jelas, aku tidak mau berbasa-basi lagi. Temui aku segera dengan mereka!" Karena efek pukulan di hidung membuat emosiku membuncah, tak peduli aku mengatakan hal tersebut keras-keras di depan wajahnya.
"Bertemu dengan mereka bukanlah hal yang mudah, kau perlu melakukan sebuah hal." Karanto tersenyum ganjil padaku, ia duduk di kursi kebesarannya dan bermain-main dengan bola dunia bersepuh emas di atas meja. Beberapa detik kemudian, pintu ruangan ini berderit dan muncul kedua sosok besar berjas itu lagi. Karanto mengerling ganjil dan beberapa detik kemudian mereka mengunci kedua tanganku dan menjegal kakiku, memaksaku dalam posisi bersimpuh dihadapan Pria dominan dengan kumis memuakkan tersebut. Aku tidak bergerak, mencoba terlepas pun percuma. Setelah memastikan aku aman, Karanto membuka nakas kecil di meja dan mengambil sebentuk benda tabung dengan ujung meruncing tajam dan berkilap di bawah sinar lampu.
Karanto mendekat, dan aku bisa merasakan aroma tembakau kuat saat ia mendekat. Jantungku mencelos saat Karanto mengelus leherku dengan ujung lancip benda tersebut. Ia menatapku seolah mendapatkan buruan.
"Paketnya harus dikirim dalam keadaan segar dan utuh, sayang sekali hidungmu sudah rusak. Namun, keseluruhan kau nampak baik-baik saja. Saatnya tertidur Arga, atau boleh aku memanggilmu Salasar." Ia tersenyum ganjil dan penuh nafsu membunuh. Aku berusaha menjerit namun kedua orang besar ini membekap mulutku kuat-kuat. Desiran darah mengalir deras ke kepala saat jarum itu melesak masuk ke pembuluh arteriku. Rasa ngilu itu membekas cukup lama sementara cairan putih di tabung berkurang signifikan. Segera setelah semua isinya habis, ia mengelap luka kecil muncul. Aku merasakan cengkraman dua laki-laki besar ini berkurang namun tubuhku juga mulai sempoyongan, Bersamaan dengan itu, kesadaranku mulai payah dan visiku menjadi kabur. Siluet Karanto tampak menjauh di detik-detik terakhir kesadaranku dan yang terakhir ku rasakan adalah rasa terhempas dan lantai marmer yang dingin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Ursulanda | dan bagaimana kami memenangkannya [ TAMAT ] [Revisi]
Fiksi IlmiahKisah-kisah lama telah hilang, dunia berganti pada lembaran baru. Tanah-tanah hijau itu jadi saksi dari tumbuhnya Tirani baru yang merongrong di era kebangkitan umat manusia. Jauh setelah gempa besar dan perang nuklir, segelintir umat manusia mulai...