Aku memanjat tiang yang ternyata tidak semudah ekspektasi ku. Sepatu yang aku pakai tidak mendukung rencanaku, maka aku tanggalkan benda itu dan mulai memanjat bertelanjang kaki. Beberapa kali memang gagal, namun berkat sedikit kerja keras dan tekanan sendi, aku berhasil juga.
Dari dekat wadah lampu,mataku menyorot ke segala arah.Kerumunan Manusia buat mataku kacau. Meski harus menahan tekanan yang menyiksa pergelangan kaki, tapi kerja kelasku menghasilkan juga. Aku berhasil menemukan Belma. Dia ada diantara kumpulan perempuan perajin topi, dengan rambut berkulit kuda khas miliknya. Dalam keadaan yang masih terpancang di tiang listrik, aku mencari peluang yang mungkin bisa aku capai untuk mendekat ke Belma. Dari atas sini, jalanan tampaknya padat merayap dipenuhi tubuh manusia. Nyaris mustahil untuk menemukan celah masuk. Ada celah gang besar di sebaliknya gedung museum di sampingku. Aku tidak memikirkan apapun, kecuali jalan itu adalah satu satunya kesempatan.
Tanpa pikir panjang lagi-tentu aku memasang sepatu lagi-aku turun dari tiang listrik dan berlari memutari museum agar bisa mencapai ke celah itu.
Tidak semulus yang aku kira, karena terlalu terburu-buru dan tidak fokus, aku menabrak seorang laki-laki paruh baya dengan kumis yang setebal awan. Ia nyaris oleng saat kami bertabrakan. Aku menolongnya berdiri. Ia memandangku sejenak, dengan napas tersengal-sengal, ia lantas mencengkram tanganku kuat-kuat.
" Tuan? Anda tidak apa-apa?" tanyaku memastikan dia baik-baik saja.
" Tolong sembunyikan aku! Aku mohon!" Dia menarik tanganku kuat-kuat, aku tidak bisa berkutik, mungkin yang aku bisa hanya terdiam, dan kebingungan.
"Apa! Sembunyi dari apa?" sebuah ledakan misterius tiba-tiba muncul, mengagetkanku seketika, percikan api dari aspal yang terbakar memercik ke kakiku. Aku menyusur dari arah mana peluru nyasar ini berasal, saat aku menoleh ke depan, kumpulan orang dengan Plasma Gun-setahuku namanya itu-tengah mempersiapkan kami sebagai sasaran.
" Itu!" Ujarnya cepat sedikit teriakan, si Pak Tua ini melempar sesuatu yang kemudian meledak menjadi berasap tebal dan segera memboyongku kasar masuk ke museum lewat pintu staff yang terkunci rapat.
Kejadian itu bukan buatku takut, malah mengundangnya kagum.
Tidak pernah aku melihat sesuatu sekeras kaki prostetik si Pak Tua, ia menendang pintu besi berkunci biometrik bagaikan kayu lapuk, runtuh dan terlempar tak beraturan. Namun, rasa kagumku segera kalah oleh rasa takut dan teriakan yang aku lakukan.
Ia menggiringku menuju lantai dua, bersembunyi di ruang pameran yang dipenuhi benda-benda bahari. Kemudian dia menjegal pintu keluar dengan satu patung artefak kuno yang nampak seperti fosil suatu kerang raksasa yang tidak logis jika digerakkan oleh satu orang.
Mereka belum sempat melihat kami saat masuk ke museum, namun beberapa menit ke depan aku yakin mereka akan menyadari. Aku berusaha bernapas mati-matian, rasanya jantung seperti meledak-ledak di luar wadahnya, pria itu lalu melakukan sesuatu, melepaskan sebuah perangkat aneh yang terpasang di tengkuknya, mirip seperti cincin lingkaran namun dengan layar holo ditengahnya. Segera setelah melepas benda itu, pria itu terkapar lemas, aku dengan sigap membantunya untuk berdiri.
" Kau baik-baik saja?" tanyaku pada pria itu. Ia meringis kesakitan.
" Maaf , kau harus terlibat dalam hal ini, aku sungguh minta maaf." Ia terus meminta maaf, sambil menepuk pipiku lemas.
Ia memberiku benda berbentuk cincin atau lingkaran tersebut. Layar holo menampilkan ilustrasi mirip kaki, namun dengan otot-otot, aku tidak tahu apa yang terjadi, namun benda itu tiba-tiba membesar dengan sendirinya, nyaris saja aku lompat dari posisiku.
Pria ini menyingsingkan lengan kanannya, nampak luka bakar menganga di otot lengannya yang kokoh, siapapun pasti akan ngilu melihat hal ini. Luka itu berhiaskan dengan darah, beberapa menetes disekitar baju putih berdasinya, beberapa sudah menetes di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Ursulanda | dan bagaimana kami memenangkannya [ TAMAT ] [Revisi]
Fiksi IlmiahKisah-kisah lama telah hilang, dunia berganti pada lembaran baru. Tanah-tanah hijau itu jadi saksi dari tumbuhnya Tirani baru yang merongrong di era kebangkitan umat manusia. Jauh setelah gempa besar dan perang nuklir, segelintir umat manusia mulai...