[ Kisah Sebelumnya : Sebuah Pengorbanan ]

40 3 1
                                    


150 tahun lalu.....

[ Wilayah Ibukota Republik Indonesia dibawah pengawasan U.N, Republik Protektoriat Indonesia ]

Ayahku mati

Yah, jangan terkejut jika aku mengawali cerita ini dengan sedikit sentuhan haru, jika kau mau menganggapnya. Tapi yang jelas dia sudah mati, bersama dengan segala kemewahan hidup yang ia berikan padaku. Tubuhnya ditemukan membusuk dalam keadaan menggantung di lampu kristal kamarnya. Cairan tubuh yang menyengat menetes pada barang bukti yang bisa jadi penyebab dia mati. Setumpuk surat tagihan dari bank dan pemberitahuan penyitaan barang.

Ia mati bunuh diri, perusahaan pengolahan biji timahnya dinyatakan pailit. Tim forensik mengatakan dia sudah meninggal sejak setengah bulan lalu, tepat saat aku menjalani kemah kewarganegaraan yang tak manusiawi di luar pulau. Meninggalkanku seorangan sebagai pewaris tunggal akan hutang dan perusahaannya yang pailit. Tanpa apapun untuk ditinggalkan, bahkan rumah megah inipun sebentar lagi akan diakuisisi bank.

Aku melarat seketika. Tuan Broto, notaris pribadi Ayahku mengatakan bahwa masih ada satu sisa harta keluarga, sebuah rumah petak di kawasan kumuh. Itu tempat terakhir yang tersisa setelah semua aset Ayah dijual untuk menutup hutang dan ganti rugi. Disanalah aku menjalani kehidupan baru, dengan kenangan lama tempat aku pernah merasakan kehangatan, sebelum semua kehangatan itu menjadi beku.

Dahulu, rumah petak dengan dinding kusam ini adalah kediaman pertama yang aku kenal semenjak lahir di dunia. Disinilah Ayah dan Ibu bertahan hidup, memberi cintanya yang tulus kepadaku hingga kemudian kerja keras Ayah membuahkan hasil. Perusahaan pengolahan biji timah berhasil beroperasi setelah mulai merintis semenjak sepuluh tahun lamanya, tepat setelah ibuku meninggal karena kanker. Kini, pabrik besar itu sudah diakuisisi perusahaan multinasional milik orang kulit putih, rumor mengatakan mereka akan merombaknya jadi pengolahan konstruksi baja.

Jika melirik ke sejarah, Ayah adalah orang yang cukup getol  bertahan selama ini dengan perusahaannya semenjak krisis pasca Perang melanda dunia. Semenjak pemerintahan lama 10 tahun lalu menyerahkan kedaulatan sementara ke PBB, banyak perusahaan besar yang bangkrut dan tidak bertahan lama mempertahankan citra personalnya sendiri. Keruntuhan ekonomi dan faktor-faktor lain mendorong PBB memulai upaya untuk mendirikan pemerintahan darurat disana dengan menurunkan status Republik yang disandang hampir seratus tahun itu menjadi kawasan Protektariat. Regulasi besar dalam konstitusi dan ekonomi dilakukan dengan segera mengingat negara-negara di dunia ketiga nyaris runtuh, termasuk negaraku. Ini menyebabkan akuisi terjadi. Perusahaan Ayah adalah yang berhasil membuktikan diri mampu bertahan dalam krisis tersebut, menjadikannya salah satu perusahaan paling profitable versi majalah bisnis lama.

Ia juga berperan banyak dalam mengentaskan kemiskinan dan kesempatan kerja, terutama untuk kaum pribumi yang semakin terdesak dengan masuknya migrasi besar kaum kulit putih. Mereka menyelamatkan diri karena ancaman nuklir bisa jatuh ke benua mereka kapanpun.

Namun, semua sudah berakhir. Sang Pahlawan sudah tiada beserta seluruh capaian besarnya. Kini hanya meninggalkan seonggok tubuh yang terbenam dalam peti, bersama dengan kegagalannya mempertahankan harapan terakhir bagi kaum yang terbuang di tanah asalnya.

Kami, orang pribumi, terancam kehilangan pekerjaan. Aku mulai merasakannya.

Hidup berbeda, membuatku harus beradaptasi kembali. Untuk bisa tetap bertahan, satu-satunya harapan untuk mendapatkan uang dan kehidupan adalah bekerja di layanan konstruksi. Mereka menyerap tenaga banyak dan tidak pandang ras, yang mereka lihat adalah kemampuanmu dalam menahan sakit dan pegal urat selama beberapa jam dalam sehari.

Tentang Ursulanda | dan bagaimana kami memenangkannya [ TAMAT ] [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang