[ Kisah Sebelumnya : Anak Kebanggaan Ayah ]

12 0 0
                                    

10 Tahun sebelumnya....

[ Paradiso, Jalan arteri 18, Librium ]

Semesta baru saja memulai hari barunya. Cahaya matahari pagi ini memberi harapan bagi banyak orang untuk menikmati keadaan cerah yang cukup jarang terjadi di wilayah tropis ini. Mereka memanfaatkan waktu yang langka ini dengan maksimal, beberapa orang membawa keluar robot anjing dan kucing mereka untuk mendapatkan energi cahaya matahari lebih baik. Beberapa golongan muda nampak senang menghabiskan pagi yang cerah dengan berlatih dan bermain teknik-teknik baru dari papan Hoverboard mereka. Mereka yang sudah beruban memilih merenggangkan otot dan tulang tua mereka dengan melakukan senam, ibu-ibu dan remaja putri muda yang ingin mendambakan tubuh langsing nan ideal juga melakukan senam , namun jauh lebih kuat dan energik. Orang-orang gila kerja lebih asik bermesraan dengan komputer holo, serta beberapa anak terlihat lebih senang meletuskan gelembung-gelembung besar yang dibuat orang tuanya. Di Paradiso, kau bebas mengekspresikan apapun yang kau mau.

Kecuali untuk seorang anak. Alih-alih menikmati pagi hari cerah dengan bermain bersama temannya, dia harus menahan sakit dicubit hingga biru lalu ditampar di pipi gara-gara tidak sengaja menjatuhkan satu pot hidroponik tanaman bonsai milik Ayahnya. Mata sembab itu tidak kuasa melawan perlakukan kasar Ayahnya, alhasil, dia pasrah saat tangan kasar milik si Ayah membuat tanda melebar merah di pipinya yang sedikit tembam. Lagi untuk yang kesekian kalinya.

" Jika kau lakukan lagi! Aku akan bakar semua mainanmu! Bersihkan semua kekacauan yang kau buat ini seakrang!" Lelaki itu meninggalkan begitu saja si anak yang sudah tersungkur kesakitan, merintih karena menahan panas dan perih dari tamparan itu. Mata coklatnya yang sembab, menatap tanpa harap ke pot bunga yang tak bisa lagi di sebut pot bunga. Dengan menggunakan sekop kecil dan tangannya yang mungil, dia kumpulkan pecahan dan gundukan tanah itu di satu titik, lalu sambil menahan perih dan kaku di wajah dia membuang tumpukan yang tadinya pot itu ke tempat sampah di luar rumah.

Disaat itulah air matanya menetes. Terlihat di depan rumahnya. Anak-anak sedang berjingkatan bahagia dengan sesosok wanita paling dekat dalam hidup mereka, tersenyum penuh keibuan dan bahagia. Ada juga bersama dengan sesosok laki-laki yang sangat baik dan perhatian. Ia teringat dengan memori masa kecilnya yang bahagia, saat dia dan Ayahnya sering melakukan hal yang mirip dengan anak-anak itu lakukan. Bersama dengannya pula sesosok wanita penuh yang senyumannya mengalihkan apapun serta membawa rasa aman dan nyaman. Kini, semua itu tidak lagi ia rasakan. Sejak para perampok yang jahat menjebol rumah mereka sebelum pindah dan membunuh Ibunya, Si Ayah menjadi berubah. Ia tidak lagi terlihat seperti superhero di mata cokat Gardy. Baginya, sosok itu berubah jadi makhluk mengerikan yang selalu menyalahkannya atas kejadian apapun. Setiap hari dalam hidupnya, ia selalu merasakan tamparan, tendangan, pukulan dan segala hal yang membuatnya perih dan kesakitan. Setiap hari ia jarang sekali tersenyum, apalagi berjingkat-jingkat bahagia seperti teman-temannya sekarang.

Ia tidak pernah merasa menikmati liburan, setiap hari baginya adalah kerja. beberapa waktu lalu dia di suruh oleh si Ayah untuk membersihkan taman, siang nanti dia pasti disuruh untuk membersihkan lantai, menggosok kamar mandi dan mencuci. Seluruh hal ini dia harus lakukan agar mendapatkan jatah makan pagi dan malam, jika dia tidak menurutinya maka menahan lapar hingga esok hari adalah hal yang harus dia rasakan. Pantas saja perawakan anak ini sangat memprihatinkan.

Tetangga-tetangga yang peduli terkadang mengajaknya bermain bersama anak-anak mereka. Mengajaknya berlibur ke tempat-tempat rekreasi di Librium atau sekedar mengajaknya makan siang. Akan tetapi, hal itu harus mereka lakukan sembunyi-sembunyi, atau mereka akan mendapatkan amukan dari si Ayah yang notabene merupakan orang penting di Pertahanan Librium.

Seorang anak perempuan berambut hitam menghampirinya. Dia tidak tahu kenapa anak ini menangis. Sepertinya anak perempuan ini ingin tahu kenapa anak laki-laki ini menangis. Dengan polos anak ini bertanya. " Kau kenapa menangis? Adakah yang menyakitimu?"

Gardy terisak sesaat dan kemudian mulai menjawab pertanyaan tersebut. " A-aku kangen ibu."

Gadis kecil ini berkerut dahinya. " Memang, ibumu dimana?"

Mata Gardy semakin memerah, air mata menggenang di kelopak matanya yang kecil. Sebentar lagi air matanya akan mengalir deras, namun dia tidak boleh menunjukkan air matanya. Seperti yang dikatakan oleh mendiang Ibunya. " A-aku tidak punya ibu, Ibuku tidak ada."

Mata polos gadis kecil itu mengerjap. Ia belum tahu maksud dari perkataan Gardy, jadi dengan kepolosan itu dia menggandeng si Gardy. " Ayo, aku pinjamkan ibuku untukmu, kita akan bermain bersama, oh ya sebelumnya namamu siapa?"

Gardy tidak tahu harus bahagia atau apa, namun pergi dari rumah tanpa izin adalah hal yang buruk. Ia bimbang, semua tindakannya sekarang penuh pertimbangan. Ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang, namun dalam hati kecilnya. Mungkin tidak akan terjadi hal yang buruk jika sedikit membelot peraturan. Lagi pula, anak perempuan ini terlihat baik. Pasti Ayahnya tidak akan marah. Setelah memantapkan pikirannya, Gardy mengangguk dan menjawab pertanyaan si anak perempuan itu. " Namaku Gardy, salam kenal."

Mereka berlari dengan sangat gembira menuju ke arah ibunya. Namun, saat ibunya melihat Gardy, ekspresinya langsung berubah. Ia tahu reputasi Ayah dari kawan baru anak perempuannya. Dari sudut pandang Gardy, itu sudah biasa ia terima. Ekspresi ketakutan itu hal yang selalu terjadi, Gardy mendadak menundukkan wajahnya. Ia paham, bahwa ia tidak akan diterima oleh siapapun.

Namun,dugaannya salah. Si Ibu dari anak perempuan itu tiba-tiba mengusap puncak kepalanya. Pupil Gardy membesar, ia sudah sangat lama—bahkan sudah lupa dengan rasanya—terakhir di gosok kepalanya dengan sangat lembut semacam ini. ia teringat dengan seseorang yang pernah melakukan ini, itu adalah Ibunya. Sambil membawa anak bayinya, wanita baik hati itu mengusap air mata di pipinya dan menatap lembut. Aura keibuan itu membuat Gardy sangat nyaman.

" Ayo nak, main ke rumah ibu. Kamu sudah makan?"

Gardy kecil menggeleng, dan ini membuat wanita baik hati itu tertohok. Hingga waktu sesiang ini, masih ada anak kecil yang belum makan apapun. Orang tua buruk macam apa yang membiarkan anaknya kelaparan dan kesepian semacam ini? Ia tidak menyangka jika Tuan Habertrone akan sekejam ini pada anak sulungnya. Rasa iba membanjiri hati wanita tersebut. Lalu, dengan mata sedikit berair, ia menggamit anak itu.

" GARDY! PULANG SEKARANG!" Bentakan yang membuat si wanita terkejut itu terdengar dari arah asal anak kurus itu. Mereka bertiga secara serempak membalikkan tubuh, di lihat disana si Ayah telah muncul dengan tatapan yang tidak bisa disebut bersahabat, kedua mata itu seakan menatap bagai elang. Bahkan, suara mobil dan bising khas kota nyaris hilang karena suasana mencekam dan mengerikan yang dimunculkan Ayahnya dalam tatapan itu. Gardy hanya bisa menelan ludah, ia tahu apa yang akan terjadi ada dirinya nanti. Akan ada pukulan dan tamparan, serta tidak ada jatah makan malam hari ini.

Si Wanita ingin melawan, namun dia ingat bahwa dia juga membawa bayi. Apalagi, tabiat kasar Tuan Haber bisa berengruh kepada anaknya. Gardy sadar akan panggilan tersebut, dia melepas genggaman penuh hangat dari Ibu Sesilia, lalu menengoknya sebentar. Wanita itu hanya bisa tersenyum getir dan kemudian duduk menyamai si anak. Ia mengusap pipi anak tersebut. " Ayahmu baik kok, maaf bibi belum bisa membawamu bermain. Itu Ayahmu sudah memanggil. Maaf ya, mungkin besok bibi akan membawakan makanan yang banyak untukmu."

" Kau keberatan Hema!? Biarkan anakku pulang, lagi pula kau sudah punya dua!" Itu perkataan paling kasar yang pernah di dengar Hema. Rasanya dia ingin menampar sekarang juga, namun mengingat ada anaknya disini. Ia tetap menjaga diri. Tidak baik menunjukkan amarah di depan anak-anaknya. Ia hanya memberi tatapan tidak menyenangkan pada Haber.

Gardy pergi menjauhi keluarga Sesilia, kini lebih dekat ke arah pria yang sudah sangat kehilangan kesadaran, semakin dekat dengan si Ayah, suara napas yang berat membuat bulu kuduk anak kecil itu menegang. Saat mereka sepenuhnya berhadapan, Gardy menatap Ayahnya dengan gemetaran. Ingatan-ingatan akan kejadian mengerikan beberapa waktu lalu telah membuat trauma tersendiri baginya, dan hari ini, tepat beberapa detik setelah ingatan memilukan itu muncul, si Ayah melakukan hal itu lagi. Dengan segera Pria berwajah kaku itu menyeret Anaknya dengan sangat kasar, bahkan nyaris anak berambut hitam itu tidak menapak tanah, ia diangkat begitu saja seperti karung beras. Sesilia ketakutan melihat hal tersebut, dan dia bersembunyi di kaki ibunya. Hema hanya bisa pasrah, semoga saja anak itu tidak apa-apa, keluh batinnya.

Tentang Ursulanda | dan bagaimana kami memenangkannya [ TAMAT ] [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang