36. Deretan Mural

919 30 0
                                    

"Kak Wildan nungguin siapa?" Tanyaku padanya.

"Kamu" dia hanya menjawab singkat tapi penuh makna.

****

Akhirnya aku pulang bersama kak Wildan. Dari jalan yang aku amati ini bukan arah jalan pulang, entah dia mau mengajakku kemana.

"Kak Wildan?" Panggilku.

"Hmmm?" Dia hanya bergumam dan terus berkonsentrasi mengendarai motor.

"Kita mau kemana?"

"Masih ada waktu luang sebentar kan?" Dia malah berbalik tanya.

"Hmmm... masih, emang kenapa?" Aku sungguh ingin tau, sebenarnya kak Wildan ingin mengajakku kemana.

Dia hanya tersenyum dan melihatku lewat kaca sepion.

****

Sekitar 15 menit motor kak Wildan mulai menuruni jalan kecil dekat rel kereta api. Tempatnya sungguh sangat asing bagiku.

Terus menelusuri jalan-jalan kecil yang kumuh sekali. Kini jalan mulai melewati terowongan kecil yang lembab penuh dengan lumut dan rumput liar.

Dan akhirnya motor kak Wildan berhenti diantara dua terowongan, terowongan yang barusan ku lewati dan terowongan lainnya.

"Turun.." dia menyuruhku turun dari atas motor.

Aku turun perlahan, tercium jelas dihidungku. Bau lumut, bercampur bau tanah, tapi menyegarkan.

"Kak? Kita mau kemana?"

"Ikut aja!"

Aku terus mengikuti langkahya melewati terowongan yang tidak terlalu besar dan sedikit gelap.

Bukkk....

Aku menabrak tas besar kak Wildan.

"Maaf.." kataku sambil membenarkan kerudungku.

"Coba lihat disekeliling dinding terowongan.." perintahnya.

"Mural?" Jawabku singkat.

"Iyahh.. suka?"

"Suka.. kak Wildan sering kesini?"

"Terkadang, kalo lagi murung, pasti kesini.."

"Kenapa?"

"Tempatnya adem"

"Iya sihhh.."

Aku menelusuri dinding terowongan, sesekali berhenti membaca cuitan-cuitan rakyat kecil, yang mengeluh karena ekonomi yang tak kunjung baik.

Semua dinding terowongan dipenuhi mural. Cantik sekali, dan hal yang aku suka saat kereta api lewat, terowongan bergetar seperti ada gempa bumi. Membuat debu yang menempel berterbangan.

"Kak Wildan tau tempat ini dari mana?"

"Dari temen" dia menjawab sambil terus membersikan terowongan dari rumput liar.

"Temen kak Wildan rumahnya dideket sini?"

"Dulu"

"Sekarang udah pindah?"

"Iya"

"Dimana?"

"Di surga"

Aku terkejut dengan jawaban kak Wildan.

"Maaf" aku menghampirinya.

"Ga jadi masalah buat saya"

"Temen kak Wildan meniggal karena apa?" Aku bertanya dengan hati-hati.

Bantara dan LaksanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang