Aku pulang benar-benar dengan keadaan bingung, bentakan kak Wildan tadi membuatku membisu seketika.
"Aku harus gimana dong?" Otak dan hatiku mulai berdebat.
"Ekhem..." suara ibu memecah konsentrasiku.
"Eh ibu" jawabku sekenanya
"Eh Adella sudah pulang?"
"Hehe"
"Kok cuma hehe?" Tanya ibu kesal.
"Oh.. Assalamualaikum bu.. Adella pulang"
"Nah gitu dong.. kamu kenapa sih dek akhir-akhir ini ibu sering liat kamu ngelamun..."
"Eeennngggaa siapa yang ngelamun, mungkin itu Della lagi mikirin pelajaran sekolah"
"Masa?"
"Iyaa ibuuu, yaudah Della keatas dulu yah"
Ibu hanya tersenyum melihat tingkahku. Aku merasa tidak enak terus mengumpat seperti ini.
"Bbrrukkkk" aku menjatuhkan tubuku ke atas kasur.
Aku benar-benar bingung apa yang harus aku lakukan, otak menyuruhku merelakan hubungan ini tapi hati menangis tidak ingin ditinggalkan.
Aku benar-benar tidak bisa memdam masalah ini sendirian, aku bergegas ke kamar kak Ardi.
"Kak..." panggilku didepan kamarnya.
"Kakkkkkkk!!" Suaraku sedikit lebih kencang.
"Kak Ardi belum pulang dek!" Saut ibu dari bawah.
"Hmmmm" aku bergumam sejenak lalu memutuskan bercerita pada Hilwa dan Elen.
Aku mencari handphoneku.
Adella: Hai guys mau cerita nih
Elen: Tumben
Hilwa: Ada yg galo nih
Adella: Ihh kalian.. mau cerita nih
Elen: Buruan!
Adella: Aku bingung harus gimana, tadi waktu pulang sekolah sempet berantem sama kak Wildan.
Hilwa: Serius?
Adella: iya.. kalian tau gak ternyata kak Alvin itu sahabat deketnya kak Wildan, terus mereka berantem gara-gara Della :(
Elen: Sumpeh?
Adella: Gimana nih?
Hilwa: Mending tungguin keputusan Wildan dulu aja deh Del! Dari pada ambil keputusan sekarang nanti nyesel.
Elen: Bener Del! Eh tumben luh otaknya jalan.
Hilwa: Yee..
Adella: Oke, makasih ya sarannya lumayan tenang nih.
Elen & Hilwa: Shiapp
****
Tidak ada satupun notifikasi pesan dari kak Wildan. Aku yang tadinya merasa sedikit tenang menjadi risau lagi.Aku berusah untuk tidak mengambil keputusan terlebih dahulu.
Akhirnya ku putuskan untuk tidur lebih awal agar pikiranku sedikit lebih rileks.
****
Hiruk pikuk jalan raya membuatku terbangun. Kuraih handphone disebelahku. Tidak ada satupun notifikasi pesan dari kak Wildan, keputusan apa yang dia ambil aku akan terima.Semua mata pelajaran hari ini aku lalui dengan hambar, aku lebih sering diam dan melamun.
"Del pliss jangan gini, kepikiran boleh tapi jangan nyiksa diri kamu" Elen mencoba menasehatiku.
"Iyah.. makasih Len"
"Semangat dong!" Timpal Hilwa.
"Iyaa"
Aku berusaha melupakan sejenak masalah ini dan menghibur diriku.
Bel pulang akhirnya berbunyi, tanpa basa basi aku bergegas pergi ke gerbang dan menunggu kak Wildan disana.
"Adella" panggil seseorang.
"Kak Alvin" ucapku saat mengetauhi siapa orangnya.
"Maafin aku soal kemaren yah udah kasar"
"Harusnya kak Alvin minta maafnya ke kak Wildan"
"Orang kaya dia gak pantes dimintain maaf"
"Yaudah berarti kak Alvin juga orang yang nggak panges buat aku maafin!"
"Kok gitu sih Del! Oh pasti gara-gara Wildan, dia udah menghasut kamu banget ya Del"
"Dia nggak ngehasut aku sama sekali"
"Cukup!!" Potong kak Wildan yang tiba-tiba datang.
Aku berlari ke arahnya.
"Mau apa lagi!?" Tanya kak Alvin ketus.
"Saya sudah capek sama sifat kamu yang gak berubah-berubah dari dulu Vin"
"Yaudah, mau lo apa?!!"
"Kamu bukan sahabat aku lagi!!"
Aku menggigit bibir dalam-dalam, aku merasa bersalah ada di tengah-tengah persahabatan mereka.
"Oke fine.. fuck you bitch men" kak Alvin beranjak pergi.
"Yuk pulang keburu sore"
"Kak Wildan yakin ngelakuin ini"
"Semua sudah saya pikirkan matang-matang Adella!!" Nada suara kak Wildan mulai meninggi.
Aku terdiam.
"Ikut saya!" Dia menarik tanganku dan membawaku samping sekolah.
"Hhuhhh" dia menghembuskan nafas panjang
"Kamu gak usah khawatir soal masalah ini, saya sama Alvin memang sering bertengkar masalah perempuan"
"Hah?!" Aku benar-benar terkejut.
"Tapi akhirnya saya yang selalu mengalah, dan memutuskan untuk menutup diri entah sampai kapan, dan kejadian itu terulang lagi hari ini, sampai akhirnya kata-kata itu terucap" kak Wildan menundukkan kepalanya.
Aku benar-benar kasihan.
"Terus?"
"Saya tidak mau terus-terusan mengalah Adella, saya punya perasaan tapi dia? Tidak pernah memikirkan apa yang saya rasa"
"Yang sabar ya kak.." aku mengelus lembut bahunya.
"Makasih Adella"
Sore itu saksi dimana akhirnga kepribadian seorang Wildan terbuka sedikit demi sedikit.
Mencintai orang seperti Wildan tidak gampang, sikapnya yang dingin dan cenderung menutup diri membuat siapa saja lelah meladeninya.
Tapi aku yakin cintanya tak perlu diragukan.