Aku pulang dengan perasaan kacau. Mataku terus mengeluarkan air mata. Suaraku menjadi parau.
"Aku nggak bisa terus-terusan begini" batinku.
Aku bergegas mencari kakakku, aku ingin mencabut semua keraguanku atas cinta ini.
Aku sudah tidak tahan dengan kondisi ini, dia sudah mempercayaiku untuk bisa merubah dirinya. Tapi apa? Aku malah menjauhinya karena rasa yang tidak jelas.
"Kkkkaaa....kkk Arr...dddyy" panggilku terisak-isak.
"Iyaa.." jawabnya.
"Kakk..." sontak aku langsung memeluk erat kakaku.
"Kenapa?" Dia bertanya heran.
"Aaaa..kk..uuu"
"Tarik nafas dulu"
Ku tarik nafas dalam-dalam.
"Aku cabut semua keraguan cinta dan nafsu"
"Kok bisa?"
"Aku nggak bisa menjauh dari kak Wildan, kak"
"Kamu terlalu lemah"
"Coba kakak yang ada diposisi aku!! Aku sama kak Wildan masih satu sekolah kak! Nggak mungkin nggak ketemu"
"Terserah" kak Ardy melepaskan pelukannya dan pergi.
Aku semakin bingung, perkataan siapa yang harus aku ikuti.
Aku takut kak Wildan berfikir diriku menghianati cintanya. Dia sudah sangat sayang kepadaku.
Aku akan meminta maaf padanya besok" aku membulatkan tekad.
****
Paginya aku berangkat sekolah sendiri tanpa diantar kak Ardy entah kenapa aku membencinya saat ini.
Masih pagi-pagi sekali matahari sudah bersinar cerah semoga saja cuaca ini pertanda baik.
"Hai Adella" suara itu kembali.
Jujur aku tidak ingin membalik badanku, karena aku tau siapa pemilik suara itu.
Aku tidak menghiraukannya dan langsung ke kelas.
"Della tunggu!!" Suara itu mengejarku.
Aku memepercepat langkahku.
"Mau apa dia?"
"Kamu kenapa sih? Setiap aku nyapa selalu menghindar" dia mencoba menghalangiku.
"Udah beberapa kali sih kak!! Aku nggak mau berteman sama kakak" aku berusaha menjelaskannya sekali lagi agar dia benar-benar paham.
"Aku salah apa Del?" Kak Alvin mulai memasang wajah memelas.
Aku tidak ingin berurusan dengannya terlalu lama, aku takut kak Wildan melihatnya dan mengira aku menjauh karena kak Alvin.
"Kenapa sih dia selalu muncul disaat-saat seperti ini?"
****
Matahari semakin tinggi, cuaca semakin panas. Adzan duhur belum berkumandang.
Aku masih berkutat dengan pelajaran bahasa Inggris yang membuat ngantuk.
Bayang-bayang wajah kak Wildan kemarin masih menghantuiku.
Apakah dia benar-benar marah?
Aku benar-benar menyesal saat ini.
Akhirnya adzan duhur berkumandang. Aku dan teman-teman putri lainnya bergegas mengambil air wudhu dan solat berjamaah di masjid sekolah.
"Sar.. kita sholat di bawah aja yah!" Pintaku pada Sarah.
"Oke" jawabnya setuju.
15 menit setelah sholat aku masih berbincang-bincang di masjid, tanpa sadar bel berbunyi dan harus segera bergegas ke kelas.
"Yukk kelas" ajak Hilwa.
"Bentar aku mau ngembaliin mukena dulu" ucapku.
"Cepet!!"
"Iya"
Aku berjalan menuju rak mukena. Dan tiba-tiba aku bertemu kak Wildan disana.
Dia menatapku marah! Sorot matanya menakutkan.
Jantungku berdetak kencang. Dia marah kepadaku? Aku belum pernah melihat sorot mata yang begitu tajam.
Sampai-sampai aku tidak berani menatapnya. Kakiku bergetar, aku benar-benar merasa lemas.
"Seseorang... tolong aku" nafasku mulai berat dan semuanya menjadi gelap.