Aku terus berjalan dibelakang kak Wildan, dan terus menggenggam lengan bajunya hingga tanganku berkeringat.
Sesekali aku melihat kakinya yg tampak kokoh menginjak aspal panas. Apakah caraku salah? Rasa bersalahku terus berkecambuk.
Mataku mulai memanas. Aku menangis, baru kali kali ini aku menangis untuk seseorang laki-laki asing. Biasanya sosok Adella menangis karena di abaikan oleh abang-abangnya yang kurang ajar.
Aku melepaskan genggamanku saat tiba di depan parkiran motor. Seperti biasa aku menunggu diseberang jalan, dan kak Wildan menggambil motor.
Setelah beberapa menit dia kembali dihadapanku, menatapku sejenak dengan tatapan polos.
Entah aku sangat suka saat dirinya menatapku, walaupun pandangannya kosong, tapi aku bisa melihat jelas bayanganku tersenyum dibola matanya.
"Yuk pulang... keburu sore" ucapnya sambil membenarkan tas.
Aku hanya tersenyum simpul dan naik ke atas motor jupiter berwarna merah yang sudah nampak tua.
Angin meniup-niup kerudungku. Sesekali aku bersenandung, melihat wajahnya dari kaca sepion lalu tersenyum malu.
"Kak Wildan.." aku mulai memecah suasana.
"Iya..." jawabnya singkat
"Kak Wildan udah suka manis?"
"Belum"
"Kalo boleh Della tanya, rasa apa yang palingggggg kak Wildan suka..."
"Gatau"
"Kok gatau? Setiap orang kan punya rasa favorit, misalnya manis, pedes, atau kecut"
"Rasa itu punya banyak pilihan, ada yang enak dan ada juga yang bikin orang mual" dia menatap lurus kedepan sambil mengingat apa yang mau dia sampaikan.
"Jadi.."
"Jangan terpacu oleh satu rasa, takutnya rasa yang menurut kamu paling enak berubah menjadi rasa yang paling kamu benci"
Aku hanya diam, jujur aku tidak terlalu paham apa yang dia katakan.
"Kak Wildan boleh nggak kalo ngomong jangan terlalu baku" pintaku.
"Baku gimana?"
"Misalnya jangan pake kata 'saya' tapi 'aku'"
"Kata 'saya' lebih sopan"
"Hmmm..." aku bingung mau bilang apa.
****
Motor terus melaju, dan tidak terasa rumahku sudah ada dihadapan mata.
"Makasih ya kak, oh ya sepatinya gimana?"
"Pakai aja dulu"
"Terus besok kak Wildan pake sepatu apa?"
"Besok saya ada pelajaran olahraga jadi boleh pakai sepatu bebas"
"Nanti Adella ke kelas kak Wildan yah.."
"Tidak usah biar saya yang menggambilnya sendiri"
"Oke..." aku hanya bisa pasrah
Motor kak Wildan melaju pergi. Meninggalkan ku, terkadang aku merasa saat-saat seperti ini terasa seperti perpisahan.
Aku takut semua yang ku alami hari ini hanya mimpi, yang tidak bisa aku rasakan di keesokan hari.
"Ibuuu... Della pulanggg...!!" Teriakku didepan pagar rumah.
"Iyaa.." saut wanita parubaya yang teramat aku sayangi.
"Lain kali kalo pulang jangan teriak-teriak ah.. nggak enak dek didenger tetangga" kata ibu sambil membenarkan kerudungnya.
"Kalo nggak teriak-teriak emang ibu denger?" Jawabku seraya mengecup pipinya.
"Loh dek kamu pake sepatu siapa?"
"Mampus" batinku.
"Eee.. temen bu, abis sepatu Della haknya lepas" aku mulai mencari alasan
"Kok sepatu cowok?"
"Iyaa.. soalnya cuma dia yang mau minjemin bu.."
"Siapa namanya?"
"Ehhhm..."
"Wwwiii...wii..."
"Wi siapa?"
"Widia bu!!"
"Loh kok widia? Katanya cowok?"
"Ehh kok Widia sih.. Wahyu bu.."
"Yaudah jaga baik-baik, besok kembaliin terus bilang terima kasih" ucap ibu seraya pergi.
"Selamat"
****
Adzan maghrib sudah berkumandang 3 menit yang lalu. Dari tadi aku hanya mondar-mandir di depan kamar kak Ardi.
"Curhat.. ...enggak... curhat... enggak.. curhattt..."
Maaf baget aku baru bisa update cerita ini lagi, tetep semangat baca ya! Jangan lupa vote juga biar aku makin semangat update ceritanya.