Damian Manuel Regata dan Daniel Manuel Regata, mereka kembar.
Namun meskipun begitu, keduanya memiliki sifat yang saling bertolak belakang.
Tak hanya menutup diri, Damian juga pendiam, dingin tak tersentuh, sulit berbaur dengan lingkungan sekitar...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Aku mau pamit."
Juan menatap nanar ke arah putranya. Ia benar-benar tidak mengerti maksud dari perkataan Daniel. Pamit? Memangnya Daniel ingin pergi ke mana? Apa yang akan Daniel cari di luar sana saat di rumah Juan mampu memberikan apapun yang Daniel minta. Apakah Daniel tidak mengerti betapa kerasnya dunia luar? Apakah Daniel tidak bisa mensyukuri apa yang ia miliki? Argh! Juan tidak mengerti dengan jalan pikiran dangkal Daniel.
"Atas dasar apa kamu mau pergi dari rumah? Jangan konyol, Niel. Bisa apa kamu tanpa Daddy? Kamu nggak ingat kalau selama ini kamu bisanya cuma minta ke Daddy? Mau jadi apa kamu di luar sana? Gelandangan, pengemis, atau pengamen?" sinis Juan. Ada kilatan amarah yang jelas di kedua mata Juan. Harga dirinya sedikit tersakiti oleh keputusan Daniel.
Tidak ada amarah yang hinggap di diri Daniel. Cowok itu masih bisa tersenyum walaupun tipis berkat kesabaran dan kekebalan tubuhnya dari cacian yang sudah ia dapatkan.
"Kamu kalau ada masalah dibicarakan baik-baik. Kamu pikir Daddy bakalan respect kalau kamu pakai cara kampungan kayak gini? Nggak!" desis Juan.
Cowok di hadapan Juan menarik napas dalam-dalam lalu kembali mengusung senyum untuk ayahnya. Senyum penuh kepalsuan. Lihat saja matanya yang memerah dengan sorot kian meredup.
"Mungkin harusnya dari dulu aku pergi. Nggak ada gunanya juga kan di sini? Seperti yang Daddy bilang kalau aku nggak tau diri, nggak guna, dan malu-maluin."
"Kamu bener. Kamu emang nggak tau diri. Nggak guna. Malu-maluin. Dan nggak ngerti arti bersyukur. Di rumah ini kamu tinggal serba enak. Kamu mau minta apapun tinggal bilang, nggak perlu susah-susah. Dan dengan bodohnya kamu milih ke luar dari rumah ini? Nggak usah drama, Niel!"
"Aku emang bodoh, Daddy nggak perlu memperjelas."
"Kapan kamu mikirnya sih, Niel? Kenapa apa yang kamu lakuin itu nggak pernah bikin Daddy ngerasa bangga punya anak kayak kamu. Lihat kakak kamu. Kamu bisa nggak sih contoh Damian hah?!" bentak Juan melepaskan emosinya.
"Aku cuma mau pamit, Dad. Tolong jangan bandingin aku sama Damian. Selamanya aku nggak bisa kayak Damian. Apa Daddy pikir dengan membandingkan aku sama Damian, aku bakalan lebih baik? Justru semakin buruk. Aku malu, nggak percaya diri, dan tertekan," ujar Daniel sendu.
Cowok itu beranjak dari posisi duduknya lalu meraih ransel hitam yang ada di kasur. Digendongnya ransel itu di punggungnya. Keputusan untuk meninggalkan rumah itu sudah bulat. Kesabarannya sudah habis. Ia menyayangi dirinya sendiri. Tidak ingin membiarkan dirinya terus disakiti.
"Nitip mommy sama yang lainnya. Aku yakin Daddy adalah yang terbaik. Pasti selalu memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Tolong jangan bandingkan antara Damian, Shella, Rizal, maupun Angel. Cukup aku yang merasakan gimana sakitnya dibandingkan. Aku nggak nyalahin siapapun, mungkin ini yang disebut takdir," ujar Daniel lalu mengulurkan tangan hendak meraih tangan Juan namun Juan buru-buru menepisnya.