Dua Puluh Tujuh

150K 18.9K 3.7K
                                    

"Jagoan Daddy! Daddy kangen banget sama Daniel," seru Juan begitu turun dari mobil dan langsung berjalan cepat menghampiri putra kembarnya yang sudah menunggu kepulangannya. Baik Daniel dan Damian sama-sama merentangkan tangan untuk menyambut pelukan ayahnya. Di hadapan kedua putranya, Juan jongkok dan memeluk mereka erat-erat. Cukup lama mereka berpelukan hingga akhirnya saling melepaskan.

Lantaran rindunya pada jagoannya yang belum sepenuhnya terobati, Juan meraih tubuh Daniel ke dalam gendongannya. Di dalam gendongannya, Daniel menenggelamkan kepala di caruk lehernya.

"Damian jalan sendiri aja, Daddy udah nggak kuat kalau harus gendong kalian berdua," ucap Juan seraya membelai puncak kepala Damian saat Damian mengulurkan kedua tangannya sebagai isyarat ingin digendong seperti Daniel.

Senyum tipis Damian lenyap bersamaan dengan kedua tangannya yang ia tarik. Ia menatap punggung ayahnya yang semakin jauh. Suara gelak tawa terdengar begitu menyakitkan di hati anak kecil itu. Anak itu memutuskan untuk masuk ke rumah dan menepis segala iri hati yang dirasa.

"Damian kan kakak, harus ngalah sama adiknya." Sekiranya kata-kata itulah yang kerap Juan lontarkan saat Damian menginginkan hal-hal yang Daniel dapatkan. Lalu disusul alasan-alasan lain yang membuat Damian mengerti.

"Ini buat Daniel dan ini buat kak Damian," ucap Juan setelah membongkar oleh-oleh yang dipesan kedua putranya.

"Kok Damian dapat mobil? Aku jadi pengin juga," protes Daniel yang langsung merebut mobil-mobol remote control yang diperuntukkan untuk Damian. Damian hendak merebut barang yang seharusnya menjadi miliknya, namun sebuah lengan kokoh menahannya.

"Damian yang ini aja, ya? Itu biar buat Daniel."
Damian menatap robot yang diberikan oleh ayahnya. Sebenarnya ia sangat menginginkan mobil-mobilan sesuai yang ia pesan beberapa hari yang lalu saat ayahnya berpamitan pergi ke luar kota. Tapi lagi-lagi ia diharuskan mengalah demi Daniel.

Damian meremas kuat kaleng minuman yang ada dalam genggamannya saat ingatan buruk tentang masa kecilnya kembali datang. Masa kecilnya terlalu buruk.
Saat orang lain sangat bersemangat dan tertawa lepas mengingat masa kanak-kanak mereka, lain dengan Daniel. Masa kanak-kanaknya hanya tentang mengalah, dinomorduakan, dan tidak meluapkan amarahnya yang bercampur rasa iri.

Botol kaleng yang sudah penyok ia lempar ke rerumputan hijau yang terhampar di hadapannya. Damian bangkit dan meraih jaket kulit yang tergeletak di bangku yang tadi ia duduki. Cowok itu berlari pelan masuk ke rumah.

"Mau ke mana?" selidik Damian saat bertemu dengan Shella yang ada di depan pintu. Shella terlihat rapi dengan stelan santai dan sling bag yang dibawa.

"Mau nge-print makalah. Printer di rumah rusak, Kak."

"Biar kakak aja, mana flashdisk-nya?"

Shella membuka slingbag miliknya dan mencari keberadaan flashdisk. Tak butuh waktu lama flashdisk sudah ada dalam genggamannya. Gadis itu memberikan benda itu ke kakaknya.

Keduanya refleks saling berpandangan saat mereka sama-sama merasakan sengatan hebat kala kulit mereka saling bersentuhan. Bahkan tanpa sadar Damian menggenggam tangan Shella dan mengusap punggung tangan gadis itu dengan ibu jarinya.

"Eh sorry," ujar Damian saat tersadar dan buru-buru melepaskan tangan Shella.
Cowok itu nampak salah tingkah. Untuk menutupi kesalah tingkahannya, Damian mengenakan jaket kulitnya.
Tidak hanya Damian, Shella pun nampak salah tingkah. Gadis itu sibuk memainkan slingbag miliknya.

"Oh iya Kak, nama filenya makalah tentang HAM. Sama sekalian print tugas bahasa Indonesianya. Nama ...."

"Ikut aja gimana? Takutnya kakak lupa, dek," tawar Damian.

Incredible JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang