Dua Puluh Sembilan

138K 19.1K 1.7K
                                        

"Daddy pikir kamu lupa. Daddy senang akhirnya kamu datang juga," ucap Juan melihat kedatangan putra sulungnya yang ia tunggu-tunggu sedari tadi.

"Udah janji, pantang mengingkari," sahut Damian lalu duduk berhadapan dengan Juan. Cowok itu melepaskan jaket yang membungkus tubuhnya lalu disampirkan di kursi lain.

"Makan dulu, nanti kita ke bandara jam 5 sore. Mau pesan apa? Biar Daddy yang pesankan," tawar Juan yang ditanggapi dengan gelengan kepala pelan oleh Damian.
Damian merogoh saku celana dan mengeluarkan bungkus rokok beserta korek. Tidak ada ketakutan yang menghampiri saat ia akan merokok di hadapan ayahnya yang melarang keras dirinya merokok.

"Sejak kapan kamu ngerokok, sih? Daddy ngerasa kecolongan karena tau setelah kamu kecanduan kayak gini," tanya Juan penuh sesal menyadari keterlambatannya.

"Lupa," sahut Damian lalu menghisap dalam-dalam rokoknya. Nampak ia begitu menikmati setiap hisapannya.

Juan hanya bisa menghela napas lalu menyeruput minuman miliknya.

"Kenapa kita harus sembunyiin ini semua dari mommy dan yang lain? Dan kenapa harus aku, bukan Daniel anak emas Daddy?" tanya Damian dengan tatapan tajam tak kunjung lepas dari wajah Juan. Jujur saja Juan masih merasakan sedikit ketakutan dengan tatapan putra sulungnya. Putra sulungnya memiliki sesuatu yang mampu mematikan lawan yaitu tatapan mata. Tajam, menusuk, dan mengerikan. Aura kejam dan sadis terpancar dari matanya apalagi jika ditambah seringai.

"Daddy cuma nggak mau bikin mereka khawatir. Dan Daddy mikir kenapa harus kamu, karena kamu yang Daddy percaya. Kamu lebih dewasa dari Daniel, kamu lebih bisa mengerti keadaan daripada Daniel, dan Daddy nggak mau melibatkan lebih banyak lagi soal ini. Dari awal kamu sudah tahu."

Daniel mengembuskan asap dari bibir dan hidungnya.
"Bukan karena Daddy lebih sayang Daniel? Karena lebih sayang ke Daniel, jadi Daddy limpahin ke aku. Bukannya dari dulu Daddy selalu ngasih yang terbaik buat Daniel?"

"Damian, Daddy tau pernah salah sama kamu. Daddy nggak bisa ngelak kalau selama ini selalu membedakan kalian. Daddy akui kalau Daddy berat ke Daniel. Dari dulu sampai sekarang bahkan Daddy masih nggak mampu ngasih keadilan ke kamu. Daddy---"

"Jangan ungkit itu. Daddy nggak tau gimana sulitnya aku buat bangkit dan melupakan itu. Aku udah terbiasa tanpa kasih sayang Daddy. Sekarang aku juga udah nggak bakal ngemis kasih sayang ke Daddy. Aku udah dapatin yang aku mau, walaupun itu bukan dari daddy," sela Damian. Wajahnya ia pertahanan untuk tetap tenang meskipun hatinya berontak dan otaknya tidak sejalan dengan apa yang ia katakan.

Omong kosong.
Damian tidak seperti itu.
Hanya saja ia terbiasa memendam keinginannya. Dari kecil, keinginannya selalu direbut oleh Daniel. Dan sepertinya sampai sekarang pun ia harus tetap memendamnya.

"Kamu marah atau benci sama Daddy?"

"Apa sikapku selama bertahun-tahun ini nggak buat daddy sadar? Bertahun-tahun aku marah sama ketidakadilan daddy. Bertahun-tahun aku benci karena cuma aku yang diperlakukan tidak adil. Dan saat daddy butuh sesuatu, daddy larinya ke aku. Konyol, kan? Kalau lagi seneng, ingetnya Daniel sama yang lain. Lagi susah, minta tolongnya ke aku. Hahaha ternyata hubungan antara aku dan Daddy sekonyol ini," ujar Damian lalu terkekeh geli menertawakan betapa bodoh dirinya.

"Daddy nggak ada maksud seperti itu. Dad---"

"Udah tau kok dad. Selamanya Daddy nggak akan mau disalahkan. Selamanya juga Daddy akan selalu mencari alasan untuk menyangkal agar Daddy terlihat tetap benar. Bukankah seperti itu siklusnya?"

"Damian."

"Kayaknya kita harus berangkat ke bandara sekarang," ujar Damian lalu mematikan rokoknya dan meletakan di asbak. Jaketnya ia kenakan lalu tas punggungnya kembali ia gendong. Ia berjalan mendahului Juan menuju mobil yang sudah sangat ia kenali.
Tak lama kemudian Juan menyusul.

Incredible JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang