Dua Puluh Delapan

149K 18.5K 2.1K
                                    

"Apapun yang udah lo capai nggak akan ngerubah apapun, Damian. Percuma. Lo nggak bakal gantiin posisi Daniel di keluarga ini," gumam Damian mencibir dirinya sendiri. Cowok itu menatap ke arah lemari kaca yang ada di kamarnya. Di sana deretan piala, medali, dan piagam penghargaan tertata rapi menjadi bukti kemenangan Damian. Kemenangan yang ia peroleh sejak masih sekolah dasar sampai menengah atas. Foto-foto kenangan juga ada di sana.

Damian tersenyum kecut saat menatap satu per satu bingkai foto itu. Di sana hanya ada wajah ibunya yang diabadikan bersamanya saat menerima penghargaan bersama gurunya. Tidak ada wajah ayahnya. Ayahnya memang tidak pernah hadir untuk melihatnya menerima penghargaan atas juara yang sudah ia sabet.

Ayahnya tidak sesibuk itu, hanya saja Damian tidak terlalu diprioritaskan. Prioritas seorang Juan adalah Daniel.

Sejak kecil Damian kehilangan sosok ayahnya. Ayahnya selalu ada, tapi tidak pernah peduli padanya. Kepeduliannya hanya sebatas omong kosong.

"Damian kan kakak, ngalah ya sama Daniel."

"Itu buat Daniel aja, Damian ambil yang ini. Ngalah dong sama adeknya."

"Harusnya Damian nggak usah bales mukul. Kamu kan kakak, masa mukul adiknya sendiri. Daniel nggak mukul kamu kalau kamu nggak salah!"

Damian tertawa getir mengingat beberapa ucapan Juan untuk membela anak emasnya hingga tanpa disadari melukai hati anak sulungnya.
Awalnya ia pikir dengan prestasi mampu mendapatkan apa yang Daniel dapatkan Juan. Ia memfokuskan dirinya untuk belajar dan meninggalkan kesenangannya agar bisa meraih gelar juara untuk menarik perhatian ayahnya. Nyatanya semua yang sudah ia lakukan sia-sia. Hidup Juan berporos pada Daniel.

Ceklek. Pintu kamar terbuka.
Damian menoleh ke arah pintu dan mendapati ayahnya masuk membawa amplop putih di tangannya.

"Ini maksudnya apa, Mian? Daddy nemuin ini di tempat sampah," tanya Juan seraya memberikan amplop ber-kop sekolahnya. Damian tahu, itu adalah surat undangan khusus untuk orangtuanya untuk menghadiri puncak acara ulangtahun sekolahnya. Tidak sembarang orangtua yang diundang. Hanya orangtua dari murid berprestasi yang diundang karena di puncak acara itu nantinya akan diberikan apresiasi terhadap murid berprestasi tahun ini. Damian salah satunya dengan prestasi terakhir membawa pulang piala juara satu olimpiade matematika yang diadakan oleh salah satu kampus negeri ternama.

"Daddy sama mommy diundang tanggal 7, kenapa kemarin kamu nggak bilang?" selidik Juan.

"Emang Daddy bisa datang kalau aku kasih tau? Paling cuma mommy yang bisa, kan? Lebih baik aku nggak ngasih tau untuk meminimalisir rasa kecewanya. Daddy kan selalu sibuk nggak ada waktu buat urusanku. Aku aja heran."

"Damian, Daddy nggak gitu. Emang yang dulu-dulu waktunya nggak pas makanya Daddy nggak bisa datang."

Damian diam. Ia menarik kursi belajar lalu membuka laptopnya. Cowok itu pura-pura sibuk dengan proposal kegiatan yang akan ia ajukan ke pembina OSIS.

"Damian, bisa kita bicara sebentar. Kita bicarakan baik-baik. Selama ini kamu kurang komunikasi dengan Daddy dan yang lainnya. Kamu terlalu tertutup dan Daddy nggak pernah paham a---"

"Kurang komunikasi kata Daddy? Coba diingat baik-baik. Dulu siapa yang selalu mengabaikan aku? Dulu siapa yang ngajarin aku buat ngalah dan jangan ngeluh apapun. Dulu siapa yang nggak pernah ngasih aku kesempatan buat protes? Dulu siapa yang nggak ngasih aku waktu buat jelasin? Suaraku nggak pernah didengar, kalaupun didengar selalu diabaikan. Kepribadianku sekarang terbentuk dari perlakuan Daddy dan yang lainnya. Aku lebih milih diam daripada bersuara tapi kerap diabaikan," sela Damian meluapkan emosinya yang terpendam bertahun-tahun di hatinya.

Incredible JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang