(⊙_☉)

41 7 1
                                    

Beberapa angkot melewatinya, Zahra melambaikan tangan memberhentikan angkot di depannya.

Sudah ada empat orang di dalamnya. Seorang ibu-ibu duduk di bangku sebelah kiri, seorang ibu-ibu lagi dan anaknya serta seorang laki-laki berheadset duduk di bangku sebelah kanan.

Zahra memilih duduk bersama ibu-ibu yang duduk di sebelah kiri. Ia berhadapan dengan anak kecil itu yang sedari tadi selalu tersenyum dengannya.

Zahra yang mulai gemes melihatnya mencoba menanyakannya.

"Mmm...adek namanya siapa?kenapa senyum-senyum gitu?."

"Namaku Adit kak. Kakak cantik sih, jadi pengin punya jodoh seperti kakak yang cantik dan baik." Ibunya hanya terkekeh kecil mendengar jawaban dari anaknya itu.

Zahra tersenyum malu untuk mengakuinya. Ia bahkan sebenarnya hanya perempuan biasa saja.

"Kalo kakak pengin nggak?."kata anak itu menarik-narik jaket laki-laki berheadset di sebelahnya. Ia terlihat gagah.

Zahra menunggu jawabannya...
Bukan bukan, lebih tepatnya memastikan bagaimana tanggapannya. Karena penasaran ia memandang laki-laki itu.

Laki-laki itu tersenyum mengangguk.

"Kalo cantik enggaknya tidak jadi masalah buat kakak, yang penting hatinya dek." Ia menyubit pipi gembul anak kecil itu.

Tanpa sengaja pandangan mereka bertemu, Zahra langsung menunduk mengalihkan pandangan ke arah lain. Ia kira laki-laki itu sangat cuek yang dari tadi tidak memperhatikan sekelilingnya.

Seorang ibu-ibu dan anaknya itu turun dari angkot. Kini hanya tersisa tiga orang. zahra berharap laki-laki itu turun duluan daripada ibu-ibu yang ada di sebelahnya.

Tapi siapa sangka, tak berapa lama ibu-ibu itu turun karena sudah sampai di tujuannya. Tinggal mereka berdua dan pak sopir yang ada di depan.

Rasanya Zahra pengin cepat-cepat sampai ke rumah neneknya untuk memberikan makanan hasil jerih payahnya sendiri.

Tapi ia tak bisa menghindar dari suasana yang mencekamnya saat ini.

Untuk menghilangkan kegelisahannya dan kebosanannya mulutnya komat-kamit membaca shalawat dan istighfar.

Itu adalah bekal yang ia dapat dari guru mengajinya dulu saat ia di pondok Al-Ikhsan.

Zahra melihatnya sekilas, dia terlihat santai masih tetap asyik dengan headsetnya. Kenapa Zahra sendiri harus gugup?dia saja enggak.

"Turun sini pak." ujar Zahra seraya berjalan ke depan.

Ia merogoh sakunya, memutar-mutarkan jari tangannya ke seluruh isi sakunya. Ia tak menemukannya.

Zahra mengecek isi tas kecilnya, juga ia tak menemukannya. Bagaimana ini?, apa yang harus ia lakukan?.

"Mana neng uangnya?."

"Maaf pak s-saya lupa nggak bawa uang, apa boleh saya mengambil uang dulu di rumah nenek saya. Tidak jauh dari sini kok pak." Zahra memohon.

Ia melirik sekilas laki-laki itu, berharap tak melihat dirinya. Lalu kembali memohon kepada pak sopir.

"Yah tidak bisa neng, sama saja waktu kerja saya hilang hanya untuk menunggu enengnya." terlihat sedikit keras tapi masih mau melembutkan katanya.

Zahra benar-benar pasrah, keringat dinginnya keluar membasahi keningnya.

Apa ia harus memberikan sekotak bekalnya? Tidak, ia benar-benar bersusah payah untuk membuatnya.

"Ini pak buat dua orang, untuk kembaliannya buat bapak aja." kata laki-laki itu menyodorkan uang dua puluh ribuan.

Why? (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang