Kebetulan

26 1 0
                                    

Rutinitas pondok Al-Ikhsan berjalan seperti biasanya. Nanti malam akan diadakan tadarusan. Semua santri hari ini sibuk menyiapkan semuanya.

Bagi yang santri putri memasak sayur untuk hidangan nanti malam dan begitu pula santri putra ditugaskan memasak nasi dan wedang (air minum).

Tempat untuk memasak tidak di ndalem karena sudah disediakan tempat kalau ada acara-acara besar. Yaitu, di dapur putra dan putri. Tetap ada pemisah antara dapur putra dan dapur putrinya, dan juga diperbolehkan membuka pintunya ketika ada keperluan yang berkaitan.

Seperti sekarang ini, santri putri harus meminta kayu bakar kepada santri putra karena persediaannya telah habis.

Zahra yang sedang menumis bawang merah terhenti dan menoleh pada Naila yang memanggil namanya.

"Ya, ada apa mba?."

"Tolong mintain kayu bakar sama santri putra, numisnya ditunda dulu ya."

"Ah iya mba." Zahra agak bingung, kenapa Naila sering melibatkannya padahal ada yang lebih senior dari Zahra. Salah satu siisi inilah yang ia sukai dari Naila, ia tidak membeda-bedakan status. Tapi Zahra senang, seperti ini menjadikannya ikut berperan.

Zahra agak canggung ketika harus memanggil santri putra dengan sebutan 'kang', agak gimana gitu tapi ya terdengar harmonis. Kayak keluarga aja ya harmonis. Memang sudah adatnya di sini begitu kalau memanggil santri putra.

Ia mengetuk pintu pelan sampai tiga kali. Tok tok tok...
Pintu akhirnya pun terbuka.

"K- kang, boleh minta kayu bakarnya?."kata Zahra memulai.
Kenapa Fadli ada di sini?, ah iya dia kan pernah bilang kalau alumni dari sini. Zahra juga pernah melihatnya saat dirinya harus menyalurkan sebuah mic di tadarusan yang lalu.

Mungkin sekarang dia ingin mengabdi dengan sering datang ke sini untuk sekedar membantu. Tapi kenapa dia harus pindah pondok kalau begitu?.

Zahra menepis pikiran melayangnya. Ia melihat Fadli menyunggingkan senyum. Zahra pun menunduk malu, tak pantas dirinya menerima senyumannya.

"Zahra, ohh...sebentar ya."

Iya mengangguk paham, Zahra telah mondok di sini. Apakah ini sebuah kebetulan atau sebuah takdir yang telah digariskan?. Entahlah...

Fadli menutup sedikit pintunya, tapi masih ada celah untuk melihat. Ia melangkahkan kakinya, tak berapa lama ia membalikkan badan. Ia terkekeh kecil begitu melihat Zahra yang masih setia menunggu. Senyumannya kembali terukir.

"Ra, nggak usah ditunggu. Nanti saya yang mengantarnya ke sana."

Zahra terlihat agak gugup. Ia menggaruk kepalanya yang dibalut kerudung merah, yang mungkin tidak gatal.

"Oh...tapi apa boleh santri putra ke dapur putri?."ia berkata lirih.

"Boleh kalau ada kepentingan.."

"Oh...kalo gitu saya permisi dulu."kata Zahra sembari melangkahkan kaki. Fadli menganggapnya lucu, pertama bertemu ia bertengkar dengannya. Akan terasa aneh jika sekarang seperti ini.

"Santri baru ya Li?..."tanya seorang santri putra.

"Iya kok baru lihat."sambung yang lain.

"Mungkin..."jawabnya acuh.

Meskipun santri putra dan putri terpisah, tapi mereka tahu siapa saja yang mondok di sini meskipun jarang bertemu. Jadi kalau ada santri baru mungkin akan membuat mereka penasaran.

"Ra, siapa yang menemuinya?."tanya Sarah begitu melihat Zahra sudah balik.

Belum sempat menjawab, seseorang datang membawa kayu bakar tanpa melihat sekelilingnya yang tengah memperhatikannya.

"Oh, kang Fadli?."Zahra mengangguk.

"Eh Ra, acara seperti ini nih juga kesempatan tau. Kita bisa melihat kang santri, apalagi yang datang ke pintu bisa menatap langsung kayak kamu tadi."ujar Sarah bercerita.

Zahra hanya menyimak.

"Tapi ya memang benar adanya sih, aku kadang juga gitu. Hehe...Ra, kamu tadi lihat kang Fadli tanpa melihat ke sekelilingnya kan?.

"Iya, kayaknya hanya fokus dengan yang ia bawa."

"Tepat sekali, ia menjaga pandangannya dari santri putri yang ada di sekelilingnya. Tidak banyak sekarang para pria bahkan wanita yang menundukkan pandangan dengan lawan jenis."

Lagi-lagi Zahra hanya mengangguk mengerti.

"Tunggu, kamu tadi mengangguk ketika aku mengatakan kang Fadli. Apa kamu juga sudah mengenalnya?."selidik Sarah, sepertinya Sarah memang pantas jadi dedektif deh. Hal kecil saja tak akan keliru dari dirinya.

"Emm itu, itu..."Zahra menghela napas, jika ia tak mengatakannya mungkin Sarah akan tetap mendesaknya.

"Iya aku mengenalnya, ia sebagai kakak ppl di sekolahku selama tiga bulan."

"Oh ya?Kalo Mba Naila di sekolahku."

"Apa mereka seumuran?."

"Allright...bahkan mereka satu kampus, dan juga mba Naila..."

Nama yang disebut tiba-tiba datang, seolah tahu apa yang akan dikatakan Sarah.

"Sarah, Zahra udahin gosipnya. Nggak baik tahu ngomongin orang. Nih ikannya disuwiri ya."

"Siap calon bu nyai."

Mereka pun segera melaksanakan perintahnya.

Zahra melihat Naila mengotak-atik semua bumbu yang sudah ada.

"Ada apa kak?."

"Gulanya di mana ya?...kayaknya udah aku bawa tadi. Apa kamu bisa ambilin gula di dapur ndalem Ra."

"Selalu bisa kok mba."

Zahra bangkit dari duduknya menuju dapur ndalem.

"Gula, di mana kamu oh gula...tunjukkan dirimu oh gula."Zahra bersenandung pelan tanpa sadar seseorang tengah memergokinya.

"Ah ini."begitu sudah ketemu ia berbalik badan. Aduh...kenapa dia datang tanpa memberi aba-aba. Jadi malu kan, habis bersenandung ngarang lagi liriknya😥.

"Mba, tolong buatin kopi tiga ya."pintanya.

"Tapi, saya harus..."belum selesai bicara, patung kutub sudah pergi meninggalkannya. Baru kemarin minta maaf, udah balik aja ke sikap aslinya.

Baiklah ia harus mengalah. Kedatangan Zahra menghentikan tawa mereka yang begitu renyah. Mereka bertiga ternyata saling kenal.

"Makasih Zah."Zahra hanya tersenyum dibalik kepalanya yang menunduk. Bagaimana tidak, ia hanya tidak bisa menatap ketiga cowok yang menatap kepadanya.

                             ))))

Why? (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang