Li, kamu nggak ada jam kuliah kan?nanti bawain sepeda biru di pertigaan jalan gading rumah no 196 ya ke pondok mu dulu. Tadi ibu sempat menyerempet seorang perempuan. Ibu bawa ke rumah sakit tempat ibu kerja. Sampaikan permintaan maaf ke nyai Sofiah ya.
Pesan masuk dari seseorang yang sangat ia sayangi dan hormati. Ia pun segera membalasnya.
Nggak ada kok bu. In syaa Allah. Tapi apa lukanya parah bu? balasnya.
Enggak kok, hanya sedikit tergores kakinya karena tertimpa sepedanya, balasan dari ibunya.
Syukurlah kalo gitu bu, Li jadi nggak khawatir sama ibu juga perempuan itu.
Ia pun berangkat naik motor menuju alamat yang dimaksud.
"Itu sepeda birunya."katanya setelah sampai.
"Permisi pak, mau ambil sepedanya pak."
"Dengan nak Fadli kan?."
"Iya pak."katanya sembari menaruh sepedanya di motornya setelah dipersilahkan, lalu ia menalinya supaya tidak jatuh.
"Wah, udah ganteng nggak gengsi lagi. Salut deh sama masnya."mendapat perkataan seperti itu, ia hanya tersenyum kecil. Ia juga tidak tahu kenapa ringan-ringan saja ia melakukannya. Ini karena perintah ibunya, ia akan melakukan apapun yang terbaik untuknya.
Ia pun segera melajukan motornya menuju pondok al-ikhsan. Ia berhenti di depan ndalem.
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumsalam, ya bentar."jawab seseorang dari dalam.
" Kang Fadli...ada apa ya?nggak biasanya ke sini kalo nggak ada hal penting."tanyanya penasaran.
"Emm...apa harus seperti ini bicaranya."katanya sembari memandang ke arah lain.
Belum sempat menjawabnya, matanya tertuju pada sepeda yang dibawa Fadli. Lalu ia menghampirinya.
"Astagfirullah, ini kan sepeda yang digunakan Zahra. Dia kenapa?."tanya nya yang membuat Fadli juga terkejut dengan nama yang Naila sebut.
"Zahra? jadi yang ibu serempet Zahra?."batinnya. Jadi ini alasannya, ibunya tak menyebutkan namanya saat mengirim pesan. Ya, gadis yang selama ini ia ceritakan pada ibunya.
"Kenapa diem, kang."Naila tampak khawatir, ia takut Zahra kenapa-napa.
Fadli pun menghampirinya lalu menurunkan sepedanya. Ia menoleh pada Naila.
"Sebaiknya kita bicara di dalam, Nai." Naila mengangguk lalu mengambil bungkusan di keranjang sepeda.
"Saya ambilin minum dulu kang."
"Nggak usah Nai."jawabnya tapi telat Naila sudah pergi duluan.
Li, nanti jemput dia ya. Ibu ada jadwal.
Iya bu.
"Eh nak Fadli, ada apa?."tanya bu nyai yang diikuti Naila di belakangnya.
"Sebelumnya saya mau mewakilkan permintaan maaf ibu saya, karena beliau sempat menyerempet santri ibu di pertigaan jalan gading. Dan lukanya hanya sedikit tergores di bagian kakinya, dan alhamdulillah sekarang udah dibawa ke rumah sakit sama ibu saya."
"Syukurlah kalo Zahra baik-baik saja. Apa ibumu juga terluka?."
"Sepertinya tidak bu nyai. Berhubung ibu saya ada jadwal di rumah sakit itu."
"Alhamdulillah..."jawabnya.
"Um, apa perlu saya jemput Zahra?."tanya Naila.
"Maaf, sepertinya Naila tidak perlu untuk menjemputnya. Bukan ada maksud tertentu. Biar saya yang akan bertanggung jawab mengenai ini."sambung Fadli.
Naila menunggu jawaban uminya.
"Baiklah, kamu boleh jemput dia nak."
"Terima kasih bu nyai, kalo gitu saya permisi dulu. Assalamu'alaikum."katanya dengan menelungkupkan kedua tangannya.
"Wa'alaikumsalam."
Fachri mendengar percakapan di ruang tamu. Dia mau nimbrung tapi tak ada urusan dengannya. Karena penasaran ia pun mendengarkan sampai selesai. Ia pura-pura tidak tahu begitu bibi dan sepupunya keluar.
"Ada apa bi?."tanya Fachri.
"Itu Santri putri ada yang sempat keserempet sama ibunya Fadli. Tapi untungnya ia baik-baik saja."jawab bibinya.
Fachri ber-oh saja lalu mengalihkan pandangannya pada Naila yang wajah nya terlihat layu. Ia tahu ada rasa cemburu di balik senyum yang ia tutupi.
Ia tahu sepupunya telah lama memendam rasa sejak Fadli mondok di sini karena ia pernah membaca buku diary Naila yang tertinggal di ruang tamu beberapa lama ini.
Tadinya ia mau mencegah Fadli yang menjemput tapi begitu mendengar bibinya mengijinkan. Ia bisa apa.
Ya, dia juga ada rasa cemburu di hatinya. Sosok yang ia sebut selalu ceroboh. Apa dia baik-baik saja?.
))))
Tapi tak berapa lama, suara derap langkah kaki terdengar. Ada bayangan seseorang yang tampak dari jendela, tengah berjalan mengarah pada ruangannya.
Zahra menghentikan makan nya.
Ia penasaran...Knop pintu berputar menghasilkan suara clek.
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumsalam. Kak Fadli?."sontak Zahra kaget.
"Kenapa?kayak melihat hantu saja. Maaf lama. Nih."katanya sambil menyodorkan sebuah minuman.
"Tidak usah, makasih."jawab Zahra memalingkan mukanya ke arah lain.
"Saya tahu, menunggu itu memang sulit dan membuatmu sakit. Setidaknya kamu ngehargai saya dengan menerimanya. Tidak dihargai itu juga membuat rasa sakit."jawabnya seraya menenggak minumannya.
"Maaf jika saya tidak menghargai kakak tadi. Kakak bener, menunggu memang menyakitkan...apalagi menunggu seseorang, dengan berharap jadi miliknya tanpa ia ketahui. Seolah sedang menunggu takdir mempertemukan. Apa kakak juga pernah menunggu seseorang?."tanyanya membuka botol minumannya.
"Ya, sekarang pun masih menunggu. Menunggu waktu yang tepat agar suatu saat nanti aku bisa memilikimu."batinnya.
"Maaf...seharusnya saya tidak mempertanyakan yang seharusnya tidak saya tanyakan."kata Zahra merasa bersalah karena Fadli hanya diam tak menjawab.
"Tak apa. Ayo saya antarkan."balasnya sembari bangkit dari tempat duduk.
"Kak saya nggak bawa tas. Nanti gimana?."tanya nya yang membuat Fadli mengangkat alisnya.
"Maksudnya?."tanya nya pura-pura nggak paham.
"Kalo nggak ada penghalang saya nggak mau naik."jawab Zahra.
"Penghalang gimana?."tanyanya lagi ngledek Zahra.
"Bukan mahrom, pahaaam?."jawab Zahra kesal.
"Bilang dari tadi dong, kan jadi jelas. Berarti kalo udah, nggak ada penghalangnya lagi kan?."tanya nya.
"Ya nggak lah, eh maksudnya....udah ah kalo nggak ada, mending saya naik angkot." katanya sembari berjalan sedikit pelan.
"Ya...gitu aja ngambek. Becanda kali, saya bawa tas kok."katanya sembari mengeluarkan tasnya dari jok motor.
"Beneran nih nggak mau naik?. Nanti saya tinggal lho."katanya lagi.
Mendengar itu, Zahra balik badan seraya tersenyum terlihat lesung pipi kanannya terbentuk.
Fadliii...istighfaaar, jangan dipandangin terus. Ia menyadarkan dirinya dengan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Nah gitu dong kak dari tadi ngluarin tasnya. Jadinya kan saya nggak perlu repot-repot untuk marah."katanya sembari menerima tasnya lalu ia letakkan di tengah sebagai penghalang mereka.
"Dasar kekanak-kanakan."ujarnya bersamaan menyalakan motornya.
"Saya bisa mendengarnya lho kak."jawabnya tak suka. Fadli hanya diam mendengar jawaban yang Zahra lontarkan.
))))
Masih penasaran???
Ayo lanjut!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Why? (TAMAT)
Fiksi RemajaZahra hanya diam mematung,ia akan bergerak jika ada seseorang yang akan menyemangatinya. Ia berharap seseorang akan datang melakukan itu. Tapi.... Mengapa harus dia? Mengapa? Why? Hai temen-temen...penasaran dengan kisah Zahra??? Baca dan nantikan t...