Foto

20 1 0
                                    

"Umi lagi masak apa?wanginya sampai kamar Irfan um."kata Irfan.

"Ketupat Fan..."jawab uminya yang sedang membalikkan ketupatnya.

"Emangnya ada acara um?, kok masaknya banyak."

"Iya, umi mau ke rumah temen. Sekalian bawa ketupat masakan umi."

Irfan penasaran, kayaknya temen uminya orang penting sampai uminya repot-repot masak. Ia ingin bertanya tapi urung. Irfan tak mau mengganggu uminya yang sedang sibuk.

Ia pun berjalan keluar dari dapur menuju kamarnya. Irfan berniat menata kamarnya berhubung hari libur kenaikan kelas selama dua minggu dan pagi ini yang masih segar, membuatnya tambah semangat untuk melakukan kegiatan.

Ia membuka lemari buku, mengeluarkan semua isinya dan memilah yang masih penting dan yang sudah tidak.

Semua isinya sudah berceceran di lantai, berantakan. Matanya tertuju pada sebuah album foto. Sudah terlihat tampak usang covernya. Ia memungutnya, ia belum pernah melihat sebelumnya.

Ia membuka album fotonya, dua anak kecil sedang berpose meringis memperlihatkan gigi gripisnya. Yang satu pakai kerudung dan satunya lagi memakai peci. Ia tahu itu foto dirinya, tapi siapa gadis kecil imut itu yang berada di samping dirinya.

Belum sempat ia memfokuskan penglihatannya. Uminya memanggilnya. Irfan pun kembali menutupnya, bergegas menemui uminya.

"Iya um, ada apa?."tanya Irfan kemudian.

"Nanti antarkan umi ya ke rumah temen umi. Sekarang kamu bisa bersiap-siap dulu."jawab uminya sembari memasukkan wadah ke bungkusannya.

"Irfan sekarang lagi beres-beres kamar um."tolaknya halus.

"Kan bisa ditunda dulu, umi udah lama banget nggak ke sana."

"Iya um, Irfan ke kamar dulu."

Ia menghela napas, harus memasukkan lagi semua isi lemari.

"Nggak usah ah, biar di lantai aja dulu."gumamnya berhenti memasukkannya. Lalu beranjak untuk mandi.

Selang beberapa menit kemudian, Irfan dan uminya sudah siap menuju tempat yang uminya maksud. Dalam  perjalanan Irfan nurut dengan arah yang uminya tunjukkan.

"Um, apa bener ini jalannya. Irfan juga pernah lewat sini tapi belok ke belokan tadi."ujar Irfan menoleh uminya ke belakang.

"Iya, seinget umi lewat sini. Tapi umi juga ragu soalnya udah beberapa tahun yang lalu saat kamu masih umur delapan tahun."

"Umur aku sekarang tujuh belas, udah sembilan tahun yang lalu dong um. Lama pisan um."ujarnya memperkeras suaranya yang diterjang angin.

Uminya mengangguk.

"Um jalannya buntu..."katanya sembari menghentikan motornya.

"Iya Fan, apa seharusnya tadi belok kanan ya?."

"Umi kok tanya sih, Irfan kan juga nggak tahu. Gini aja deh um, umi punya no handphone nya nggak?."Uminya menggeleng.

"Tapi umi yakin rumahnya di daerah sini?coba inget-inget warna cat rumahnya."

"Kalo itu umi yakin daerah sini. Cat rumahnya kalo nggak salah warna orange."

"Ya udah, kita balik ke belokan tadi ya um."katanya sambil membelokkan motornya.

"Nah itu tuh Fan rumahnya."tunjuk umi.

"I-ini kan rumahnya Zahra."gumamnya sambil berhenti di depan sebuah rumah warna orange.

"Assalamu'alaikum...mba Ica."kata uminya mengetuk pintu.

"Wa'alaikumsalam, siapa ya."jawabnya sembari membuka pintunya.

"Ya Allah, mba Farah...apa kabar?"ujar seorang ibu memeluk umi Farah.

"Alhamdulillah baik, gimana sama kamu?."umi Farah balik nanya.

"Alhamdulillah baik juga. Eh naik Irfan ayo masuk."ujarnya mempersilahkan.

Irfan mengangguk.

"Kamu masih hafal juga nama anak saya, saya malah lupa sama anak kamu."balas umi Farah.

"Ah nggak apa-apa mba Far, ya karena sudah lama nggak ketemu. Silahkan dicicipi makanannya."

Irfan hanya diam memasang senyum, merasa ia jadi nyamuk.

"Udah berapa jus nak Irfan hafalannya?."tanya ibunya Zahra, membuatnya lega bahwa iya bukan nyamuk.

"Masih sepuluh jus tante."ujarnya rendah hati.

"Masya Allah...semoga cepat selesai ya."

Mereka berucap amin.

"Oh ya mba Ca, ini saya buatin Kupat tahu lho buat anak kamu."

"Kok jadi ngrepotin kamu mba Far. Kebetulan anak saya nggak dirumah, Zahra masih di pondok."katanya memberitahu.

Ya, Irfan sudah tahu. Ia pernah melihatnya mengantar unjukan saat ia menemani Fadli ke pondoknya dulu.

"Di pondok mana mba Ca?."

"Al-Ikhsan, pondok kitab."
Umi Farah membalasnya dengan anggukan.

"Kenapa tidak meneruskan seperti kamu mba Ca, sebagai hafidzoh."

"Hatinya belum terbuka untuk itu mba. Saya hanya berdoa yang terbaik untuknya."

))

Setiba dirumahnya. Ia teringat sebuah foto tadi pagi yang ia temukan. Apa foto gadis itu adalah Zahra?. Ia pun langsung menyambar ke kamarnya. Mencari sebuah album foto.

Ia mulai membuka per halaman, hanya ada satu foto itu dirinya dengan gadis itu, yang lainnya foto dirinya dengan keluarga.

Ia mengamati dengan seksama. Wajah itu tak asing baginya. Menurutnya dia lucu. Ia jadi teringat waktu itu dia mengikuti pose meringisnya saat mereka difoto. Bibir Irfan pun meregang, mengulas sebuah senyum.

"Aku merasa gadis itu adalah dia."
Dengan perasaannya, ia meyakinkan dirinya.

                             ))))

Why? (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang