HC 12

44.4K 4.7K 39
                                    

Malik meletakkan selembar kertas putih di meja belajarnya. Ini sudah surat cinta ke sepuluh yang dia baca. Belum lagi dengan beberapa amplop surat yang masih dia simpan di kotak rahasia.

Tidak hanya di sekolah, di pesantren pun masih ada yang mengiriminya surat. Dan sekarang dia bingung harus bersikap apa dengan surat-surat yang menumpuk tanpa ada yang satupun dia balas. Pengirimnya pun sebagian tidak ada nama, hanya mengutarakan bahwa si pengirim menyukai Malik.

Laki-laki itu menghela napas gusar. Memang seberapa menariknya dirinya ini. Hanya laki-laki dingin dan introvert yang biasa Athifa dan Aisyah juluki kulkas berjalan. Tetapi nyatanya masih ada yang mengiriminya surat cinta.

"Nggak ada satupun surat dari kamu, nis," gumamnya. Tanpa dia sadari gadis yang sedang dia pikirkan memasuki halaman rumahnya dengan seorang wanita dewasa.

"Mas, pinjem earphone." Athifa membuka pintu dan langsung menyampaikan tujuannya tanpa basa-basi.

Malik membuka laci di meja belajarnya, kemudian mengambil kabel putih yang dimaksud Athifa.

"Kenapa matanya bengkak gitu?" tanya Malik setelah memberikan earphone pada Athifa.

"Nonton drama, ceritanya sedih jadi thifa baper."

"Kalo bisa dikurangin ya baper-bapernya. Lebih baik baper sama ayat-ayat Allah. Hafalan kamu kurang berapa juz?"

"Lima juz lagi. Lagian thifa nggak sering kok nonton dramanya."

Setelah terlibat percakapan kecil Athifa kembali ke kamarnya dan Malik memilih turun ke lantai bawah. Cuaca panas di luar sana menyebabkan kekeringan di tenggorokan.

Saat hendak menuju dapur Malik malah berhenti dan bersembunyi di pembatas tembok antara ruang tengah dan ruang tamu. Dia melihat uminya sedang berbincang dengan wanita dewasa dan di sampingnya ada santriwati yang begitu menarik perhatiannya.

Jantung Malik kembali berulah melihat Annisa dan ibunya bertamu ke ndalem. Annisa terasa begitu dekat di kehidupan Malik. Entah apa karena dia yang terlalu berharap. Nyatanya memandang wajah cantik itu sedekat ini selalu berhasil memacu detak jantungnya untuk berulah.

Aisyah yang berada di sofa menutup mushaf suci berlapis silver itu. Dia baru selesai murojaah hafalan.

"Mas Malik," panggil Aisyah. Dia melihat abangnya mematung di balik tembok pembatas ruangan.

"Mas Malik ngapain?" ulangnya saat Malik tidak merespon panggilan.

"Nggak ngapa-ngapain. Eh, mau ambil minum."

"Ngeliatin siapa sih?" Aisyah menghampiri Malik dan ikut mengintip ke ruang tamu.

Aisyah mengangguk pelan. Rupanya kakak laki-lakinya ini sedang jatuh hati.

"Kalo suka langsung dilamar," bisik Aisyah disertai kekehan.

"Kamu masih kecil, belum cukup umur bilang lamaran."

"Eh Mas Malik sendiri ya yang ngomong ke Aisyah kalo nggak usah pacaran tapi langsung aja lamaran."

"Dia cuma temen."

"Aisyah nggak nanya, tapi kalo demen juga nggak papa sih. Aisyah restuin."

Malik tertawa ringan, padahal dalam hati dia tidak menampik sama sekali jika mau-mau saja melamar Annisa.

"O ya, ada surat dari temennya Aisyah."

Malik menerima amplop putih yang adiknya berikan. "Dari siapa lagi? Kemarin Athifa udah ngasih, kemarin lusa juga kamu udah nitipin. Kok nitip lagi?"

HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang