Hari ini menjadi hari paling panjang untuknya. Banyak skenario yang memaksanya menyiapkan hati sekuat baja. Pun juga menjadi kado ulang tahun yang tidak pernah Annisa duga.
27 Desember yang Annisa harap akan baik-baik saja, ternyata tidak sesederhana itu. Dipertemukan kembali dengan masa lalu, dihadapkan pada cinta segi banyak yang rumit dan memusingkan kepala. Juga pertunangannya yang entah hatinya inginkan atau tidak.
Namun, melihat kenyataan yang begitu menyakiti hati tadi siang, semakin membuat Annisa yakin akan pilihannya. Annisa mulai sadar diri, jika bukan hari ini semesta mempertemukannya dengan Malik, mungkin akan semakin banyak hati yang tersakiti. Apalagi Danis yang nanti sudah menjadi tunangannya.
"Nggak apa, Nisa. Ini adalah cara Allah menuntunmu ke kebahagiaan. Ini jawaban atas doa-doa yang selalu kamu semogakan." Berkali-kali Annisa meyakinkan diri.
Helaan nafas ke sekian dia hembuskan. Kembali lagi mengingat wajah yang Annisa rindukan setelah sekian lama. Senyuman yang Annisa pikir akan menyambutnya, menjadi alasan paling menyakitkan untuk merapuh.
Pertemuannya dengan Malik hari ini bukan tanpa alasan. Mungkin ini cara Allah untuk meyakinkan hatinya menerima lamaran Danis tanpa bayang-bayang masa lalu. Semesta ingin berkehendak adil untuk Danis yang sudah berjuang sekian lama.
"Maafkan aku, kak. Jika hari ini hatiku masih milik orang lain." Annisa menutup gorden kamar. Beranjak dari pinggir jendela.
Keluarga Danis sudah datang dan dirinya harus bersiap-siap. Tiba-tiba jantungnya merasa tidak baik. Berdegup dengan keras, meronta melepas kesakitan. Membuang apa-apa yang menjadi pahit manis perjuangannya mempertahankan Malik. Pelan, isak itu memenuhi sudut ruang. Terdengar pilu di setiap tarikan nafasnya. Entah, sudah berapa banyak luka itu dibasuh dengan air mata.
Dia merasa bersalah pada laki-laki yang dengan sangat tulus mencintainya. Sejauh ini dirinya sudah sangat jahat. Annisa tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya Danis atas patah yang selalu dirinya berikan.
"Maaf, ... maaf," bukan maksud Annisa menjadikan Danis pelampiasan atas Malik, "ajari aku untuk mencintaimu, seperti putihnya cintamu yang tulus."
Terbayang kembali bagaimana Danis selalu menunggu ketika pulang sekolah; membelikan Annisa banyak hadiah meskipun dia tak ingin; belajar memasak hanya untuk memberikan Annisa kejutan; mengantar-jemput sekolah, kampus, ke mana pun; dan dengan sabar berjuang meski sudah berbagai macam penolakan Annisa beri.
Mungkin rasa sakit yang Annisa rasakan sekarang adalah cara semesta menegurnya, bahwa ada hati yang juga tersakiti dan berhak untuk dicintai. Danis berhak untuk mendapatkan kebahagiaan yang pantas.
Bismillah, ridhoi hati ini untuk menerima dia sebagai Adam untukku, Ya Rabb.
Tok.. tok.. tok..
Ketukan pintu menyadarkan Annisa untuk segera menghapus air mata. Dia buru-buru berlari ke meja rias untuk mengambil tissue dan menghapus jejak tangisan, hingga sedikit saja Annisa menginjak gaun sendiri, dipastikan bisa membuatnya terjungkal. Tangisan itu membuat make up di wajahnya sedikit luntur.
"Annisa...," panggilan kedua dari luar, suara Keira.
"Kamu lagi apa? ... Mbak masuk ya, keluarga Danis sudah datang."
Annisa segera membereskan sisa-sisa tissue dan membuang ke tempat sampah. Membenarkan kembali letak cadarnya.
"Iya, mbak. Sebentar..." Lantas membuka pintu dan mendapati kakak iparnya yang menunggunya dengan seutas senyum.
Jelas tersorot dari dua bola mata Annisa yang menyimpan kesedihan dan beban. Sedari Annisa pulang dari panti, adiknya itu tidak pernah senyum sampai mata dan seriang tadi pagi. Sorot matanya sendu, banyak yang dia simpan rapi di dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓
SpiritualSUDAH TERBIT - "Biarkan saya diam dalam kata, namun riuh dalam doa perihal mencintaimu. Karena saya takut saat kalimat saya cinta kamu yang terlantun tanpa ridho Allah, itu adalah langkah pertama saya untuk kehilangan kamu." - Annisa Shaqina Azzahra...