HC 35 (b)

34.7K 3.3K 23
                                    

Jika harus memilih di antara dua pilihan; mempertahankan hati untuk tetap menunggu orang yang kita cintai tetapi tidak ada saat kita terjatuh atau berpindah ke lain hati pada orang yang tetap baik hati meski kita sudah menolaknya? Pilihan itu begitu membingungkan, hingga menciptakan sedikit denyut di kepala.

Annisa membuka mata setelah lama berpikir keras. Pertemuannya dengan Danis beberapa waktu yang lalu menorehkan tanya tersendiri dalam hati. Pemuda itu masih tetap mau berbaik hati dan menjaganya setelah penolakannya tanpa sadar.

Tadi mereka tidak saling membahas persoalan hati. Danis hanya menanyakan apa kabar dan kondisi yang Annisa rasakan. Sepenuhnya dia sudah merasa baikan, ringan, namun beberapa saat pusing melanda.

"Huh, apa kabar dia?" tanyanya pada angin. Kemudian kembali menjernihkan pikiran dari bayang-bayang cinta yang bukan seharusnya.

Gadis itu menepi, membawa tubuhnya mendekati meja kecil di samping bangsalnya, mengambil setangkai mawar putih.

"Pasti dari Bang Ihsan," tebaknya. Dia menghirup aroma segar dari bunga itu kemudian tersenyum lebar. Aroma yang menenangkan, mampu mengangkat gundah gulana dari otaknya.

Cklek. Suara knop pintu terputar bersamaan dengan seorang suster yang mendorong troli penuh dengan bermacam cairan dan suntik.

"Selamat sore, Nona Annisa."

"Sore, sus."

"Gimana rasanya? Ada yang sakit?" tanya suster berseragam ungu pudar.

"Sedikit pusing."

Suster menyiapkan obat yang perlu disuntikkan lewat infus, sembari tetap mengajak ngobrol pada pasiennya. Obat itu akan terasa begitu nyeri sampai ke tulang, karenanya suster dengan senyum manisnya seolah menenangkan tidak terjadi apapun.

"O ya, suster lihat abang saya nggak?"

"Abang? Yang tadi pake seragam SMA?" Raut mukanya sedikit bingung tetapi mencoba untuk menebak.

"Bukan, Abang saya sudah kuliah."

"Mas Ihsan? Kemarin ke sini nungguin Nona, sama ibuk juga," jeda sebentar, "pacarnya romantis deh, non. Hampir setiap hari jengukin nona, bawa bunga mawar warna-warni. Salah satunya mawar putih ini."

Perkataan suster itu sukses membuat Annisa mengerutkan dahi. Pacar? Memang siapa pacarnya? Ini bukan dari Bang Ihsan? "Maaf, siapa ya, sus?"

"Adek yang pakai seragam SMA tadi. Dia loh yang pertama kali liat nona sadar."

Annisa mengangguk. Sekarang dia paham jika yang dimaksud suster itu adalah Danis. Pandangannya kembali jatuh pada setangkai mawar di genggamannya.

Maafin Nisa, kak. Udah jahat sama Kak Danis.

"O ya, nona. Ini ada paket buat Nona." Suster mengambil sebuah kotak terbungkus kertas coklat dalam troli, menyerahkan untuk Annisa.

Untuk Bunga Matahari.
Lekas sembuh, jangan layu.
Mentari di langit rindu senyumanmu.

Secoret tinta hitam yang tertulis di atas kertas pembungkus.

"Ya udah, saya harus ke ruangan sebelah. Nanti malam Nona bisa pindah ke ruang rawat inap."

"Em, iya. Makasih, Suster."

Seperginya suster dari ruangan, Annisa segera membuka bungkusan di tangannya. Sebuah novel karya penulis legendaris Pramoedya Ananta Toer berada di genggamannya, berjudul 'Bumi Manusia'.

"Siapa yang ngirim?" Tidak ada tanda petunjuk di sana. Hanya tulisan tangan yang sedikit dia hafal di kertas pembungkus tadi.

"Holaaa, Honey Bunny Sweety terzheyeng."

Mendengar teriakan itu sukses membuat Annisa terperanjat. Saking penasaran dengan pengirim novel sampai tidak sadar seseorang datang di balik boneka Teddy bear besar di tengah-tengah pintu.

"Apa kabar Marsha? Bolehkah Mischa masuk?"

Annisa tersenyum, dia tahu itu suara abangnya. Seolah dirinya adalah Marsha kecil yang bersahabat baik dengan Tuan beruang.

"Silakan, Marsha sudah rindu dengan Tuan Beruang."

"Dedek emesh cuuu." Pemuda itu berhambur mendekati brankar, kemudian memeluk gadis semata wayangnya dengan erat. Menyalurkan rindu penuh syukur, raga itu masih bisa dipeluknya, tangan itu masih bisa digenggamnya.

"Bang, sesek bang." Annisa menepuk punggung kakaknya pelan. Terasa sesak saat tubuh gempal Ihsan merengkuhnya kuat.

Ihsan melepaskannya, meneliti adiknya yang mengatur nafas. "Kenapa? Sakit? Aku panggilin dokter ya?"

"Enggak," Annisa melambaikan tangan, menolak. "abis Bang Ihsan meluknya kekencengen."

"Syukurlah." Lega.

"Bang, Teddy bear nya jangan ditaruh di bawah. Sayang tau, mau dipeluk sama orang cantik."

Mata tajam itu melirik apa yang dipandang adiknya, kemudian tersenyum singkat. "Emang ini buat kamu?"

"Lah, terus siapa? Kan dari Mischa buat Marsha."

Ihsan mengambil boneka itu, "ini buat adik paling cantik dari Ihsan Abimana Prasetya, orang paling ganteng sedunia."

"Idih, sombong banget masnya," ledek Annisa.

"Jomblo boleh, sombong harus."

Tidak lama kemudian ledakan tawa pecah dalam ruang segi empat itu. Membayar sisa-sisa hari yang teratapi pilu. Sudah lama rasanya, tidak bertukar cerita hal-hal receh seperti sekarang.

Dua saudara itu lebih sering bertengkar kecil, saling tidak mau mengungkap rindu. Namun sekarang tidak ada alasan untuk tidak saling merindu. Bersyukur, Allah masih mempertemukan mereka lebih lama lagi di dunia.

-Halaqah Cinta-

Surabaya, 29 Agustus 2019

HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang