Beberapa tahun terakhir musim di negara tropis ini tidak bisa diharapkan janjinya. Memasuki bulan Desember banyak orang yang mengharapkan hujan turun dan memeluk kembali segala keluh kesah ataupun mengingat-ingat kenangan yang sebenarnya hanya mampir. Jogjakarta hari ini tengah terik, namun itu tidak bisa menjanjikan bahwa nanti sore senja akan menyapa langit.
Di taman kampus ini Malik tengah mencari suasana yang tenang. Memberi pasokan pada paru-parunya untuk menghirup udara bebas setelah beberapa waktu kesesakan menderanya. Dia mencoba mengesampingkan segala perasaan gelisah dan kacau di hatinya. Memikirkan cinta akan membuat seseorang yang merasakannya lupa dengan dunia. Cinta bukan segalanya, cinta bisa menjatuhkan ke dasar jurang dan keterlukaan jika sampai salah menempatkan harapan. Bukan, bukan ingin lupa. Malik hanya sedang membagi waktu antara perasaan dan pekerjaan. Banyak deadline yang harus diselesaikan mengingat sudah di penghujung tahun dan liburan di depan mata.
Panas yang terik tidak menggoyahkan tekad dua gadis di ujung jalan untuk mengupayakan perlunya. Mereka berjalan-jalan bingung dengan kampus besar ini, menoleh kesana kesini sampai melihat lelaki yang tengah sendirian sibuk dengan laptop merah di hadapannya.
"Assalamualaikum, Mas. Permisi," salam salah satu gadis.
Malik menghentikan pekerjaan, menoleh ke sumber suara. "Waalaikumussalam."
"Mas, izin bertanya. Mas tau fakultas MIPA di mana?"
"Fakultas MIPA di seberang itu, mbak, yang gedungnya empat lantai." Malik menunjuk fakultas tempatnya mengajar yang berdiri kokoh disaksikan dari taman ini.
"Em, Mas tau Mbak Shasha? Penulis novel Ana Ukhibbuka Fillah, itu?" tanya gadis yang lain.
Malik kebingungan, ya mana dia tau. Shasha saja dia tidak mengenal dan tidak pernah bertemu apalagi tau rupanya. Dilihat dari penampilannya, dua gadis itu sepertinya mahasiswa muda dari kampus sebelah. Kelihatan dari pin yang menempel di tas yang dipakai.
"Maaf, saya nggak tau, mbak."
"Hm, padahal Mbak Shasha itu penulis terkenal, novelnya best seller pula. Masa di fakultas MIPA nggak terkenal. Masnya dari fakultas MIPA kan?"
Hanya anggukan singkat untuk menjawab pertanyaan itu. Tidak ada alasan kenapa dirinya harus kenal dengan penulis novel bernama Shasha itu. Pertama, Malik belum ada sebulan pindah di sini. Kedua, dia bukan mahasiswa, melainkan dosen yang mengajar di fakultas MIPA. Tidak mungkin dia bisa hafal yang mana Shasha dalam waktu tiga minggu. Tau ada Annisa saja baru tiga hari yang lalu.
"Maaf ya, mbak. Saya nggak kenal."
"Mungkin masnya tau kalo dari ciri-ciri. Jadi Mbak Shasha itu pake cadar, mas. Masnya tau?"
Sepertinya Malik harus bersabar sebentar, "yang menggunakan cadar di fakultas MIPA tidak hanya Shasha itu ya. Dan saya juga tidak tau Shasha yang mana, jadi mohon maaf saya tidak bisa membantu." Malik menelungkupkan kedua tangannya, berharap dengan itu keduanya bisa mengerti.
Keduanya tidak pantang menyerah, demi tugas dari senior untuk mengundang penulis Shaqina Az-Zahra mengisi seminar di fakultas sastra nya, mereka mengajukan pertanyaan kembali. "Ini, mas. Kalau saja Mas tau jika melihat dari novelnya." Salah satu menyerahkan novel berjudul Ana Ukhibbuka Fillah kepada Malik.
Dilihat dari judulnya jelas novel itu bergenre Spiritual. Malik mengambil buku itu, dibacanya nama pena yang tertulis di sampul bagian atas. "Shaqina Az-zahra."
Penggalan nama yang tidak asing. Nama itu mirip sekali dengan nama belakang dari perempuan yang dia cari selama ini, yang terus berulang dipikirannya. Lengkapnya Annisa Shaqina Az-Zahra. Dengan tidak sabaran Malik membuka profil penulis di lembar belakang, dibacanya sebentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓
EspiritualSUDAH TERBIT - "Biarkan saya diam dalam kata, namun riuh dalam doa perihal mencintaimu. Karena saya takut saat kalimat saya cinta kamu yang terlantun tanpa ridho Allah, itu adalah langkah pertama saya untuk kehilangan kamu." - Annisa Shaqina Azzahra...