HC 54

29.9K 2.6K 214
                                    

Tok tok tok

Seseorang mengetuk pintu kamar. Annisa yang sedang duduk di kursi belajar segera beranjak membuka pintu.

"Siapa, nis?" tanya Dinda yang sedang sembunyi di balik selimut, belum mengenakan hijab.

Annisa tidak bergeming.

"Ada apa, mbak?" tanya Annisa kepada Mbak Marni, asisten di rumah Dinda.

"Paket bunga sudah datang, mbak. Ditaruh di mana ya?"

"Sebentar, mbak," Annisa menoleh ke arah Dinda yang menyembul dari selimut, "paket bunga udah Dateng. Taruh mana, Din?"

"Meja depan aja. Nanti aku ambil."

Annisa mengangguk, lantas mengabarkan kepada Mbak Marni untuk menaruh bunga di meja depan sesuai titah Dinda.

"Meja depan saja, mbak. Setelah ini saya dan Dinda akan ambil."

"Perlu saya bantu, Mbak?" Mbak Marni menawarkan diri.

"Nggak perlu. Nanti saya sama Dinda saja. Mbak Marni silakan kerjakan yang lain," tutur Annisa halus.

"Kalau gitu, saya permisi rumiyen." Mbak Marni pamit dan Annisa lekas menutup pintu.

Selepas itu Dinda langsung lompat dari kasur, mengintip dari jendela mobil pembawa bunga mawar yang dia pesan seminggu lalu. Mbak Marni sedang berbicara dengan pengirim bunga.

"Kamu nggak perlu ke sini kali, Nis. Semalem kan baru tunangan, kamu pasti capek." Dinda balik ke kasur.

Annisa tersenyum di balik cadarnya. "Nggak ada yang capek kalo buat kamu, Din. Kan dulu kamu pernah minta tolong aku buat bantu hias kamar."

Iya, hari ini adalah dua hari menjelang pernikahan Dinda. Sebulan yang lalu Dinda pernah meminta Annisa untuk membantu menghias kamarnya, tetapi waktu itu belum ada kabar bahwa Annisa akan bertunangan dengan Danis. Dinda saja kaget H-1 baru dikabari pertunangan kemarin.

"Iya sih, tapi kamu juga nggak perlu maksain diri ke sini. Aku kan bisa hias kamar sama Mbak Marni.

"Siapa bilang terpaksa? Enggak lah. Kayak sama siapa aja."

"By the way, aku nggak nyangka Kak Danis bisa sesabar itu nungguin kamu. Padahal udah kamu tolak berkali-kali. Terus ... yang sama anak Kyai itu gimana? Kamu nyerah."

Denyutan itu terasa lagi. Mengapa semua tentang Malik masih begitu terasa di hati, menyakitkan.

"Iya, Din. Bukan jodoh aku kali, buktinya dia nggak nepatin janji."

Selain Keira, orang yang pernah Annisa ceritakan tentang Malik adalah Dinda. Sahabatnya itu tau saat berkali-kali pemuda melamar Annisa, dulu selalu di tolak. Padahal yang ngelamar pun bukan pemuda yang biasa-biasa saja. Awalnya Annisa tidak mau mengaku, sampai Dinda menemukan Annisa yang melamun dan mencorat-coret bukunya dengan nama Malik. Di saat itulah, Dinda memaksa Annisa untuk bercerita.

"Sabar ya," Dinda menepuk pundak Annisa, "tapi masih beruntung sih. Kak Danis loh yang ngelamar kamu, laki-laki sesabar dan setulus itu merjuangin kamu selama sepuluh tahun. Uwu, aku lihat kalian berdua sampai baper."

Dua kenyataan yang sulit Annisa terima. Boleh nggak sih dia marah sama waktu? Padahal yang salah adalah dirinya sendiri karena membuat hatinya mengharapkan hal-hal yang tidak pasti.

"24 jam yang lalu aku ketemu dia," tuturnya.

"Ya iyalah ketemu. Kan semalem kalian tunangan," balas Dinda, mengira 'dia' yang Annisa sebut adalah Danis.

"Gus Malik, Din,"

"Ha?"

"Kemarin aku ketemu Gus Malik, di panti asuhan."

HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang