HC 52

31.7K 2.9K 149
                                    

Danis Danial Pratama, bukanlah laki-laki yang pandai menyimpan perasaan. Dia tipikal lelaki yang selalu jadi garda terdepan persoal perjuangan. Bodo amat perihal ditolak dan ditinggalkan, yang penting berjuang dulu. Danis selalu menunjukkan perasaannya secara terang-terangan kepada perempuan yang dia sukai, ... dan Annisa lah yang beruntung diperjuangkan Danis sebegitunya.

Pertama kali mengenal Annisa adalah saat Bunda mengajak Danis untuk bermain ke rekan bisnisnya. Mereka bertemu ketika masih duduk di bangku sekolah dasar meskipun beda sekolah, berlanjut di SMP dan SMA yang sama.

Perasaan itu berawal ketika Danis bermain di rumah Annisa, saat itu hujan turun begitu deras dan Bunda menitipkan Danis untuk pulang ke rumah Annisa. Dasarnya Danis hanya dekat dengan Ihsan karena sering bermain bola atau PlayStation bareng. Namun, hari itu juga ada jantung yang berdetak dua kali lipat setelah sekian lama. Suara merdu dan menenangkan melantunkan bacaan Al-Qur'an mampu membius perasaan Danis.

"Fokus, nis. Lo bisa kalah dari gue," kata Ihsan yang sedang gencar melawan Danis bermain PS.

Danis hanya diam saja, menyelam lebih dalam lautan menenangkan itu. Lantunan ayat suci dari kamar yang terletak di sebelahnya begitu menentramkan hati.

"Lo kenapa sih?" Ihsan sudah kesal sendiri karena Danis malah bengong dan membuat gamenya menjadi kalah.

"Bang...," panggil Danis.

"Apa?"

"Itu yang ngaji, ... adek lo, bang?" Danis menatap tajam Ihsan, meminta langsung jawaban. Di tatap seperti itu membuat kulit Ihsan merinding. Danis tidak pernah seberani ini menatapnya tajam.

"Iya."

"Bagus banget suaranya," puji Danis terang-terangan.

"Hooh. Cita-citanya mau ke pesantren pas SMA."

"Mondok?"

"Iya," Ihsan membuka camilan dan memakannya, "dia pengen banget mondok dari masuk SMP. Cuma bokap nggak ngebolehin, masih kecil katanya. Takut nggak bisa bagi waktu sama akademiknya. Lo tau sendiri Bapak Herman itu gimana," jelas Ihsan.

Danis manggut-manggut saja. Om Herman memang tidak pernah main-main persoalan pendidikan dan masa depan anak-anaknya. Ayah dua orang anak itu semangat menyekolahkan putra-putrinya sampai jenjang paling tinggi sekalipun.

"Dia lanjut SMA di mana entar?"

"Umum, cuma tinggalnya aja yang di pesantren. Kenapa lo nanyain Nisa? Suka lo?" tembak Ihsan langsung. Gerak-gerik Danis sangat transparan untuk dibaca.

Senyum Danis merekah seketika. "Boleh nggak nih?" Dengan terang-terangan remaja lima belas tahun itu meminta izin langsung pada kakak kandung Annisa.

"Asal jaga diri aja. Dia nggak mau kalo lo ajak pacaran."

"Masih lama kali, masak mau ngajak pacaran."

Ihsan mengangguk. Dia sudah paham bagaimana karakter Danis.

"Eh tapi beneran dia nggak mau pacaran. Kalo sekarang jagain dia aja kalo di sekolah atau sewaktu gue nggak ada. Pas udah gede baru terserah lo gimana, asal kalo berjuang jangan setengah-setengah terus ninggalin. Hati dia dingin, lo butuh jurusnya Avatar kalo mau cairin dia."

"Alhamdulillah, dapat restu."

Pilus tik-tak yang hendak masuk dalam mulut, akhirnya melayang mengenai jidat Danis. "Ngawur lo, ... tapi gue harap lo sabar aja ngadepin dia."

HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang