HC 23

36.6K 3.9K 32
                                    

Sore ini setelah KBM berakhir Annisa tidak langsung pulang ke pesantren. Sebagai perwakilan pengurus harian dari kelas sepuluh yang sebentar lagi menjadi sekretaris utama ekskul rohis, dia harus menyiapkan segala persiapan untuk re-organisasi akhir pekan nanti.

Dengan kerja sama ini secara tidak langsung semakin mendekatkan Annisa dengan Malik. Setelah kepindahan Danis kemarin jabatan ketua memang dipegang Aan. Namun Aan selalu meminta bantuan Malik untuk mengurus ekskul. Dan jadilah sekarang keduanya sering berdiskusi--bersama dengan anggota lain--rapat.

"Syif, fixnya dana dari sekolah berapa yang cair?" tanya Aan yang tengah sibuk fokus pada monitor laptop.

"Tiga juta setengah. Kemarin anak-anak dekorasi udah ambil sebagian," jawab Syifa. Selaku bendahara umum yang sebentar lagi akan lengser.

"Konsumsi gimana? Udah ketemu cateringnya?"

"Dewi yang ngurus. Pake dari rumah makannya Mas Ali."

Ditengah-tengah pembicaraan antar kakak kelas, Annisa tengah fokus dengan proposal acara re-organisasi tahun kemarin. Dia ingin melihat bagaimana suksesnya acara saat pertama kali dirinya mengikuti ekskul kerohanian Islam. Sebagai kandidat terpilih untuk menggantikan Salma yang sebelumnya menjadi sekretaris teladan, dia juga harus mumpuni untuk menjadi lebih baik.

"An, satpam udah keliling. Harus bubar sekarang." Malik masuk ke ruang rohis setelah selesai menunaikan shalat ashar di mushola.

"Pak Baim iku mesti. Masih jam empat juga udah dikunci." Syifa menggerutu, seraya memasukkan beberapa jurnal ke dalam tas.

"Lanjut rapat di mana? Masih banyak yang belum fix." Aan segera melipat laptop dan membereskan beberapa kertas yang berantakan.

"Ke ayam geprek sini aja yang deket. Sekalian makan."

"Ehm, maaf," Annisa menyela, "hari ini saya nggak buat surat keterlambatan pulang. Nanti kalau nggak izin saya kena takzir." Annisa merasa sungkan. Ketepatan sekali hari ini dia tidak membuat surat izin pulang terlambat karena beberapa hari belakang sudah terlalu sering pulang sore.

"Lik, bantu ya."

Malik yang sebelumnya berada di depan loker langsung menoleh ke arah Aan. "Apa?"

"Annisa pulang telat."

Kontan pandangan itu teralihkan pada gadis yang tengah menundukkan pandangan. Beberapa detik dia terdiam sampai akhirnya mengangguk. "Oke."

"Tenang, nis. Ada anaknya Pak Kyai, nanti nggak jadi dihukum." Annisa tersenyum sungkan mendengar kalimat Salma barusan.

Posisinya dia hanya santri biasa yang tidak dikenal di kalangan pesantren. Jika dirinya diizinkan untuk pulang terlambat lewat Malik rasanya dia seperti memanfaatkan Malik yang notabene anak Kyai Zainal.

"Nggak usah. Annisa bisa jelasin nanti ke tatib."

"Saya izinin kamu pulang telat," jawab Malik tiba-tiba.

"Rezeki jangan ditolak," saut Naufal yang sudah diambang pintu.

Annisa tersenyum singkat pada Naufal yang sudah lebih dulu menuruni tangga. Di sampingnya ada Syifa yang tengah membawa map berisi berkas persiapan acara.

"Mbak Syif, saya bareng ya ke sananya."

"Ndak bisa aku, nis. Aku ndak bawa motor. Ini mau bareng Salma," tolak Syifa. Kebetulan saat pulang sekolah kemarin ban motor bebeknya bocor dan sekarang tengah bermalam di bengkel.

"Yaah, Annisa bareng siapa dong? Nggak ada anggota perempuan lagi."

"Naufal kan kosong. Bareng dia aja."

HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang