Prolog

172K 8.5K 235
                                    

Jogjakarta, Indonesia
______________________________________________

Di balik cadar yang menutupi sebagian wajahnya, Annisa mengamati sosok laki-laki tidak asing yang tengah berjalan di koridor fakultas tempatnya mengemban ilmu. Manik mata itu tidak lepas dari segala gerak dan gerik yang dosen muda itu lakukan.

Telapak tangan berwarna kulit putih pucat itu memegang dada dari balik khimar lebarnya. Dia mampu merasakan jantungnya menggedor keras pada rongga, seakan hendak keluar. Debar asmara itu masih sama dengan debaran di hari terakhir laki-laki itu pergi.

Pada akhirnya waktu tidak pernah bisa menghapus rasa yang dulu pernah ada di antara kita. Cinta itu terlalu lama tinggal hingga aku lupa caranya mengubur dalam kenangan. Batin Annisa merindu.

Satu detik, dua detik, tiga detik kedua mata itu bertemu. Memandang satu sama lain dan saling mengunci. Mencari jawaban atas rindu yang sempat tak direstui waktu.

Annisa mengalihkan pandangan. Percuma, karena laki-laki itu tidak akan bisa mengenalinya hanya dari sorot mata. Bukankah tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk laki-laki itu menatap manik mata perempuan lain?

"Annisa, ayo ke kelas. Bentar lagi kelasnya Pak Fahri." Seorang gadis berhijab motif bunga menepuk bahu Annisa.

Annisa tersadar. "Ah iya, ayo."

Kedua gadis penyandang semester akhir tingkat strata dua itu memasuki gedung B dan menaiki tangga menuju lantai tiga. Kurang dari sepuluh menit lagi kelas Pak Fahri dimulai, dan Annisa perlu menyiapkan mental dan pikiran untuk menghadapi kuis dari dosen killer itu.

Dalam ruang terjauh hatinya, laki-laki yang kini menjadi dosen baru sekaligus penyandang dosen termuda fakultas MIPA itu masih bersinggasana dalam hati Annisa.

Tujuh tahun Annisa menyalurkan rindunya pada seorang Malik dalam setiap untaian doa. Berharap lantunan itu terbang dan menembus langit, hingga semesta turut menyaksikan perjuangannya menjaga cinta dalam diam untuk tetap suci.

Dia bukanlah Siti Khadijah yang berani menyampaikan rasa pada Nabi Muhammad. Tetapi dia menaruh harap layaknya kisah cinta dalam diam Fatimah Azzahra kepada Ali bin Abi Thalib yang tetap suci hingga Allah menyatukan pada mahligai cinta yang diridhoi.

Diam dalam kata, namun riuh dalam doa. Di hadapan Malik, Annisa malu untuk memandang, tetapi di hadapan Allah terang-terangan dia meminta laki-laki itu menjadi imam keluarganya kelak. Berharap pemuda pemilik manik mata meneduhkan itu yang membimbingnya menuju Jannahnya Allah bersama-sama.

-Halaqah Cinta-

Tulungagung, 19 Desember 2018

HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang