HC 33

32.1K 3.4K 48
                                    

Semilir angin malam membelai lembut tubuh mungil gadis itu. Pashmina nya mengepak ke sana kemari, menambah kesan cantik pada wajah putih pucatnya. Annisa duduk di salah satu kursi. Dia sudah sampai di Malioboro, tepat di depan sebuah mal seperti yang Arka janjikan lewat pesan WhatsApp.

Annisa Shaqina:
Aku udah di Malioboro, depan mal.
Kamu di mana?

Pesan terkirim. Sambil menunggu balasan dari sepupunya, Annisa memilih untuk mengedarkan pandangan ke jalanan yang ramai. Banyak para wisatawan yang berlalu lalang menikmati keindahan Kota Gudeg, kota masa kecil Annisa. Beberapa dokar kuda berjalan menjadi irama menenangkan. Jogja memang menjadi candu untuknya.

"Maaf, Gus. Saya yang salah," gumamnya seolah semesta mendengar jeritnya yang tertahan.

Dia kira Jogjakarta akan menjadi kenangan yang baik untuk dia ingat di masa depan, tetapi dia sendiri yang menghujani jalan Malioboro dengan luka dan air mata.

Mengapa serumit ini jadinya? Terlalu takut untuk mengungkap aku cinta kamu. Berat sekali.

Derap langkah dari sneaker hitam dengan ceklis putih mendekat di mana Annisa duduk. Gadis itu tidak sadar karena masih melamun dan suaranya tersamar dengan keramaian.

"Halo, Annisa." Panggilan itu menyadarkannya pada dunia nyata.

"Eh," dia terperanjat. Kemudian memandang siapa yang sudah berdiri di depannya tanpa disadari. "Kak Danis?"

Danis tersenyum. "Apa kabar?"

"Baik." Annisa memberi lengkungan yang tidak sampai mata. "Kabar Kak Danis gimana?"

"Sama baiknya."

Berminggu-minggu lamanya tidak saling bertukar kabar, lalu kemudian didatangi tanpa membuat janji lebih dulu. Cukup membuat Annisa terkejut, aneh jika dia merasa ini sebuah kebetulan?

"Lagi ngapain?" Danis berbasa-basi.

"Nungguin Bang Ihsan sama Arka. Tadi katanya janjian di sini, tapi belum dateng juga."

Setelah itu hening. Danis kembali diam dan masih berdiri. Annisa memandang aneh kakak kelasnya itu. Sampai kemudian tanpa aba-aba Danis berlutut tepat di depan gadis belasan tahun itu.

"Selamat ulang tahun." Danis berusaha melawan kegugupannya. Tubuhnya mulai mengeluarkan keringat dingin, beberapa anggota tubuh juga mulai bergetar.

Mendapat perlakuan seperti itu tentu membuat Annisa semakin merasa aneh. Untuk mengucapkan ulang tahun tidak perlu sampai berjongkok seperti itu.

"Terima kasih. Berdiri kak, jangan gini. Nggak enak dilihat."

"Aku suka kamu."

Satu detik, dua detik, sampai detik ke lima belas Annisa terdiam. Kata suka yang baru masuk di indra pendengaran seperti menelusup di hati. Bercampur dengan porak poranda yang masih berdarah.

"Su--suka?" Mata gadis itu menatap kosong. Memikirkan lain banyak hal, dia belum sampai tahap percaya apa yang Danis katakan.

"Maaf, aku cinta kamu. Sudah lama, sejak pertama kali di halte sekolah. Maaf, baru bisa bilang sekarang. Aku tau kamu selalu nolak siapapun yang nembak kamu. Aku tau kamu nggak pacaran, but, aku cuma pengen kamu tau."

Danis mengakuinya sekarang. Setelah hampir dua tahun menyimpan perasaan dalam diam dan hanya bisa cerita pada orang-orang terdekat.

Kalimat yang Danis ucap tanpa jeda menciptakan dengung di telinga Annisa, pikirannya masih rancu tentang suka, cinta, dan sebangsanya. Hatinya belum pulih dari luka yang tadi sore dibuatnya sendiri.

HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang