Gadis belasan tahun itu turun dari angkot yang mengantarnya ke sekolah. Kali ini dia bercerita banyak kepada temannya, seolah tidak terjadi apa-apa bahwa beberapa hari yang lalu sempat dilanda kegalauan yang besar.
"Ras, itu kenapa rame-rame di mading?" tanya Annisa pada Rasti, teman yang dia kenal saat MOS dulu.
"Ada pengumuman buat anak-anak yang kemarin seleksi buat OSK," beritahunya, "aku ke kelas dulu ya."
"Iya."
Selepas perginya Rasti, Annisa mengajak Sinta untuk melihat hasil seleksi siswa yang akan menjadi wakil OSN tingkat kabupaten dari sekolahnya. Kemarin Annisa mengikuti tes tersebut. Hitung-hitung itu adalah cara menyibukkan diri dan melupakan bayang-bayang Malik.
"Nis, kamu diterima." Sinta memberitahu.
Untuk melihat kertas pengumuman itu mereka harus berdesak-desakan dengan siswa yang lain. Karena postur tubuh Annisa yang kecil dan tidak terlalu tinggi akhirnya kalah juga dibanding yang lain.
"Beneran?" tanya Annisa memastikan.
Sinta mengangguk. "Iya, ada namamu. Sama nama tiga anak yang lain."
"Alhamdulillah."
Paling tidak Annisa akan berjuang dengan nama-nama ilmiah untuk beberapa bulan ke depan. Mumpung masih kelas sebelas, dia ingin meraih prestasi sebanyak-banyaknya. Agar nanti juga mudah jalannya saat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
"Weiss, yang bakal jadi master biologi." Sinta sedikit meledek, bermaksud bercanda.
Annisa tersenyum. "Udah yuk, ah, ke kelas."
Keduanya berjalan ke arah kelas yang berada di lantai dua sambil bercerita ringan. Sesekali terdengar tawa dari keduanya. Bersama sahabat apapun hal yang tidak lucu dan garing bisa ditertawakan, asalkan tertawanya bersama itu terasa menyenangkan.
Perlahan senyum Annisa mengendur. Topeng kebahagiaannya perlahan kembali ke dunia nyata saat dia melihat Malik di depan sana. Laki-laki itu dan beberapa teman sekelasnya menuju tangga yang sama.
"Bentar, Sin," Annisa menghentikan langkahnya. Sengaja memperlambat agar dia tidak bepapasan dengan Malik di tangga, "mau ngecek LKS ku, takutnya ketinggalan."
"Piye to, nis? Ada nggak?"
Annisa melirik ke arah tangga. Sudah tidak ada lagi Malik. Dia kembali menutup tasnya. "Ada ternyata. Aku nggak lupa bawa," bohongnya.
Dalam hati Annisa merutuki diri sendiri. Hanya karena takut bertemu dengan orang yang seharusnya tidak dia hindari, dia sampai berbohong. Padahal semuanya sama saja. Berbohong ataupun tidak hatinya tetap saja merasakan sakit. Sedikit demi sedikit dia belajar untuk tidak memperdulikan semua tentang Malik.
Belajar, nis. Ikhlaskan saja dia pergi, meski nyatanya dia tidak pernah singgah.
Annisa melanjutkan langkahnya menuju kelasnya. Dia hanya mengangguk-angguk saja mendengar cerita lucu dari Sinta yang terdengar biasa saja. Sesekali memaksakan senyum.
Pesona Malik seolah mampu menyihir diri Annisa. Yang semula seolah bahagia sekarang kembali kaku, karena dirinya sendiri. Teori melupakan ternyata tidak sama dengan yang dirasakan. Butuh waktu yang lama untuk menyembuhkan luka itu dan meninggalkan apa-apa yang pernah menaungi hatinya.
Apalagi melupakan seseorang dengan mencintai sendirian. Itu jauh lebih sulit dan menyakitkan. Tidak dibalas cintanya pun sudah diberi hati, apalagi yang berbalas mungkin akan diberi jantung. Berdetak bersama perasaan bernama cinta.
Perempuan memang terlalu mengandalkan perasaan, yang kadang menyebabkan dirinya semakin rapuh karena hal yang bukan miliknya. Jika sudah seperti ini, lalu siapa yang salah? Juga bukan salahnya karena kita tidak pernah tau kapan dan kepada siapa cinta akan bertahta.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓
SpiritualSUDAH TERBIT - "Biarkan saya diam dalam kata, namun riuh dalam doa perihal mencintaimu. Karena saya takut saat kalimat saya cinta kamu yang terlantun tanpa ridho Allah, itu adalah langkah pertama saya untuk kehilangan kamu." - Annisa Shaqina Azzahra...