HC 30

38.9K 3.5K 57
                                    

Sudah tengah malam, cuaca diluar juga sedang dingin ditemani gerimis. Namun mata gadis itu belum juga terpejam. Dia merapatkan kembali jaket yang dikenakan. Dari balik jendela bus yang mengantarkannya pada tujuan esok pagi, Annisa memandang jalanan yang sepi akan kendaraan lalu lalang.

"Sin, bangun." Annisa menepuk pelan pucuk kepala Sinta yang bersandar dipundaknya kelewat nyaman. Sudah beberapa jam lehernya terasa berat dan pegal.

"Sinta, geseran dong. Pegel nih." Annisa kembali menggerakkan tubuhnya yang terasa berat karena ditindih beban Sinta.

Gadis di sampingnya itu mulai mengangkat kepala dan bersandar pada kursi bus. Annisa bisa bernafas lega, sebelum beberapa menit kemudian tanpa sadar dan masih menyelami dunia mimpi, Sinta kembali bersandar ke pundak Annisa. Sepertinya Annisa menjadi kasur berjalan untuk tidur Sinta malam ini.

Tidak ingin membuat tidur temannya terganggu, akhirnya Annisa merelakan pundaknya menjadi sandaran lebih lama lagi. Sorot matanya yang teduh menikmati sapuan air mata langit yang mengalir melewati kaca jendela. Sebelah tangannya yang bebas menggambar sesuatu di sana. Ada harapan baru yang terbesit di usianya yang hari ini genap 17 tahun.

Annisa berharap dirinya bisa menjadi kebanggaan untuk Herman dan keluarga, menjadi lebih baik dari usia sebelumnya, menjadi lebih dewasa. Ada satu nama yang turut menjadi harapan terbesar, Malik, semoga Allah melindunginya sampai kapanpun.

"Jika memang dia jodoh saya, dekatkanlah. Dan jika bukan, maka ikhlaskanlah hatiku tanpa adanya luka."

Gadis itu berbisik pada air hujan yang membasuh kaca jendela dengan derasnya, pada keheningan malam bulan Desember, dan pada angin yang mendengarnya dalam kesunyian.

Tak jauh dari kursi yang Annisa duduki, Malik tengah terjaga dari tidurnya. Lelaki itu terbangun setelah hampir tiga jam tertidur dalam bus yang bertujuan ke Semarang esok pagi. Matanya menatap sayu bulir-bulir air hujan yang tak tersentuh.

Mampukah aku seikhlas air hujan jika memang namamu cukup kujaga sampai di sini?

Apapun yang terjadi setelah hari esok, Malik sudah melapangkan hati untuk menerima segala ketentuan. Jikapun akhirnya Annisa akan menjauh setelah dia mengungkapkan rasa itu, biarlah, Malik sepenuh hati ikhlas. Itu berarti dirinya hanya diizinkan untuk menjaga nama gadis cantik itu cukup di sini, tidak untuk selanjutnya dan masa depan.

Dan jika Annisa bersedia menunggunya sampai akhir, Malik berharap dirinya akan tetap istiqamah menjaga hati. Tetap berjuang meskipun jarak terlampau jauh memisahkan, waktu terlalu kejam menciptakan rindu. Setidaknya doa akan tetap menjaga hati keduanya, nanti.

"Jodoh? Jodoh opo to, nis?"

Annisa menoleh dan menatap tajam ke arah Sinta yang baru saja bergumam persoalan jodoh. Jangan-jangan temannya itu mengetahui apa yang dirinya simpan selama ini? Ini sudah terlalu malam dan sunyi jika Sinta harus membongkar malam ini.

"Sin, sinta." Annisa menggoyangkan tubuh Sinta pelan yang disambut pergulatan kecil.

"Sin." Kali ini Annisa membangunkan lebih keras.

"Hm," Sinta bergerak sampai akhirnya dahinya terantuk kursi di depannya, "aduh," teriaknya tidak terlalu keras.

"Kamu ngelindur?" tanya Annisa was-was.

"Ngelindur? Lindur opo, nis?" Sorot mata Sinta mengantuk tak tertahan.

Ternyata meskipun sedang tertidur dan tidak sadar, Sinta bisa mendengar dan menyaut gumaman Annisa.

***

Semarang, Indonesia

Pukul setengah lima pagi, bus sudah berhenti dan singgah di Masjid Agung, Semarang. Beberapa peserta ziarah wali sudah bangun, ada juga yang masih tertidur dengan nyenyak. Salah satunya Annisa yang masih memejamkan mata sembari menyandarkan kepala ke jendela. Rasa kantuknya baru bisa datang saat waktu menunjukkan pukul satu dini hari, menyebabkan tidur dan rasa lelahnya bertambah beban.

HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang