Pekan kompetisi dalam rangka menyambut diesnatalis sudah berlangsung. Beberapa lomba bidang olahraga, kesenian, akademik, hingga permainan kecil dilaksanakan sampai puncak acara lima hari lagi.
Saat ini anggota rohis disibukkan dengan persiapan lomba cerdas cermat dua jam lagi. Annisa dan beberapa anggota sibuk membersihkan SC yang akan menjadi tempat dilaksanakannya kompetisi. Sedangkan beberapa lainnya merapikan bangku dan menempeli dengan nomor ujian.
Cerdas cermat islam ini akan diwakili tiga siswa per masing-masing kelas. Setelahnya akan diseleksi sampai lima besar dengan kapasitas soal yang lebih sulit. Dan besok akan diadakan debat bagi dua kelompok yang terpilih.
"Sudah waktunya dhuhur, lebih baik kita shalat dulu. Nanti dilanjutkan setelah dari masjid," titah Danis.
Semuanya menurut, menghentikan masing-masing pekerjaan dan beranjak ke mushola untuk menunaikan ibadah. Hanya sebagian siswi yang tetap tinggal karena berhalangan.
"Itu Kak Malik ganteng banget. Apalagi wajah gantengnya yang kena air wudhu, tambah ganteng pisan," ungkap seorang siswi di teras masjid.
"Iya. Dia anaknya kyai besar itu kan. Udah gitu udah khatam hafal Quran lagi. Imam idaman," pekik salah satu teman.
"Laki-laki seperti dia nggak mungkin mau pacaran."
Annisa yang akan masuk masjid, urung saat mendengar beberapa siswi yang memuji Malik. Ada rasa tidak rela Malik dipandang bebas perempuan lain. Kefokusannya beralih pada si pemeran utama yang tengah bercengkerama dengan beberapa teman, menunggu adzan dhuhur.
Iya dia ganteng.
Tidak bisa dipungkiri jika Annisa juga terpesona. Rambut Malik yang sedikit ikal basah dengan air wudhu. Menambah kadar ketampanannya berkali-kali lipat.
"Huss, zina mata." Sinta yang baru kembali dari tempat wudhu, menepuk pelan pundak Annisa. Menyadarkan dari lamunan yang bisa saja setan mengambil cela untuk menimbulkan syahwat.
Annisa menunduk. Istighfar. "Kamu ngagetin, Sin."
Sinta tersenyum singkat sampai memperlihatkan gigi gingsulnya. "Mandangin siapa sih, nis? Kok ke tempat ikhwan ngeliatnya."
"Nggak, nggak siapa-siapa."
"Kak Danis, ya?" Sinta menebak.
"Bukanlah."
"Tuhkan berarti bener lagi ngeliatin ikhwan. Siapa orangnya, nis? Gus Malik?"
Diam, Annisa tidak menjawab. Hingga suara adzan terlantun dari dalam mushola, menyelamatkan dari pertanyaan intens Sinta.
Gadis itu kini tengah sibuk sendiri di dalam ruangan terlebar di sekolahnya. Student Centre, yang biasa dipakai tempat pertemuan. Menelitin lembar-lembar putih di atas meja panjang terdepan.
"Astaghfirullahaladzim."
Annisa segera berjongkok memunguti soal-soal yang sudah jatuh tercecer di lantai. Dalam hati dia merutuk, kenapa Malik selalu muncul tiba-tiba dan membuat jantungnya seakan berhenti berdetak.
Ngerti nggak sih kalo kedatangan kamu yang selalu tiba-tiba itu buat jantung saya nggak nyaman. Please, gus. Saya masih sayang dengan jantung saya.
Malik menghela napas. Ini sudah kesekian kalinya gadis yang berjongkok di hadapannya terkejut karena kemunculannya.
"Maaf," ucapnya. Kemudian membantu Annisa memunguti soal-soal.
Annisa semakin menunduk. Menetralkan pacuan detak jantungnya yang semakin keras berdisko.
"Ini." Malik menyodorkan beberapa soal yang telah dipungutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓
EspiritualSUDAH TERBIT - "Biarkan saya diam dalam kata, namun riuh dalam doa perihal mencintaimu. Karena saya takut saat kalimat saya cinta kamu yang terlantun tanpa ridho Allah, itu adalah langkah pertama saya untuk kehilangan kamu." - Annisa Shaqina Azzahra...