HC 11

46.5K 5.2K 174
                                    

Sudah hampir sepekan setelah kejadian di koridor rumah sakit itu, Annisa tidak bisa bersikap seperti biasa kala bertemu Malik. Bahkan siapapun ikhwan yang dia temui di pesantren seperti memiliki wajah yang sama dengan Malik.

"Mbak Annisa, kenapa? Kia perhatiin akhir-akhir ini kok sering gelisah."

Annisa menggeleng pelan. Dia tidak ingin menceritakan apapun.

"Lebih baik nanti Mbak Annisa curhat sama Allah, semoga dihilangkan kebimbangan hatinya."

Deg!

Kalimat Zaskia sangat sopan dan lembut, tetapi seperti tamparan keras untuk Annisa. Semenjak nama Malik memiliki tempat di hatinya, pikiran Annisa menjadi kacau. Ini terlalu berlebihan untuk sebatas mengagumi. Perasaan itu menggoyahkan iman Annisa.

"Iya, Ki. Syukron atas sarannya."

Keduanya tengah menuju ma'had setelah menyetorkan hafalan Al Qur'an. Annisa sudah menjalani juz ke-9, sedangkan Zaskia akan mendapat gelar hafidzah setelah mengkhatamkan satu juz lagi.

Terkadang Annisa merasa iri. Di umur Zaskia yang dua tahun lebih muda darinya, gadis itu mampu mempertahankan keistiqomahan dan menorehkan banyak prestasi. Mungkin jika sedari lulus sekolah dasar dia diizinkan untuk mondok, pasti Annisa sudah banyak memahami ilmu agama.

Setelah sampai di ma'had putri, Annisa, Kia, dan beberapa santriwati yang lain menyibukkan diri dengan memasak menu untuk berbuka puasa.

"Aku bantu ngapain, nis?"

Sinta yang baru saja memasuki dapur ikut bergabung dengan yang lain. Gadis itu sudah sembuh dari sakitnya. Pun juga kondisi psikisnya yang sudah lebih baik. Dia sudah mampu mengikhlaskan kepergian ibunya setelah mendapat renungan di rumah sakit.

"Ngupas sama ngiris bumbu aja. Bahannya masih dicuci sama Kia."

Suasana seperti inilah yang membuat para santri nyaman dan betah di pesantren. Saling membantu sama lain dan memiliki jiwa kekeluargaan yang tinggi.

"Annisa, bisa keluar sebentar?" panggil Salwa yang baru saja masuk ke dapur.

"Iya, mbak," Annisa mengangguk sebelum Salwa kembali keluar, "Sin, kamu aduk ini ya."

Setelah memasrahkan sayur asemnya pada Sinta, Annisa keluar dan menemui Salwa di luar. Keduanya menuju balkon ma'had yang lebih sepi.

"Ini buat kamu."

Annisa menerima goodie bag yang Salwa berikan. Kemudian membukanya dan mendapati satu novel baru karya penulis favoritnya.

"Waah, Annisa emang lagi pengen novel ini. Seharusnya Mbak Salwa nggak usah repot-repot beliin ini untuk Annisa. Nanti Annisa ganti uangnya."

Jujur Annisa senang mendapatkan novel tersebut, tetapi dia sungkan menerimanya dari orang lain. Padahal dia sedang dalam tahap mengincar novel itu di toko buku. Namun belum ada waktu luang untuk mampir.

"Eh, nggak perlu. Itu bukan dari aku," jawab Salwa yang mendapat tatapan bingung dari adik santrinya.

"Ada suratnya di dalem, coba kamu baca. Mbak ke kamar dulu."

Annisa menuruti perkataan Salwa. Tangannya terulur meraih kartu ucapan berwarna pastel di dalamnya.

Dari Malik Ahmad M.

Singkat, padat, dan jelas. Namun mampu membuat tubuh Annisa meremang. Mengembalikan bunga-bunga cinta kembali bermekaran. Tanpa sadar bibir tipis itu melengkungkan senyuman indah.

Tidak ada ucapan apapun, hanya ada nama pengirim dan itu dari laki-laki yang saat ini tengah mengisi hati dan pikiran Annisa. Dia bahagia, sangat. Ini di luar kendalinya. Bahkan dia jarang bertegur sapa dengan Malik, tetapi sekali bertemu seolah sebuah kenangan indah mengukir kisah keduanya.

HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang