HC 39

30.9K 3.2K 72
                                    

Menjadi dosen baru tidak sepenuhnya Malik memiliki jadwal sendiri. Seperti di jam ke-enam dia harus menjadi dosen pengganti bagi mahasiswa S2 Biologi semester akhir. Itu artinya para mahasiswa yang dia ajar nanti memiliki usia tidak jauh beda darinya atau ada yang sepantaran, bahkan di atasnya.

Deg-deg-an juga sih rasanya. Mungkin perkuliahan nanti rasanya seperti diskusi dengan teman sendiri. Malik membawa beberapa buku yang diperlukan, secukupnya karena hari ini akan ada kuis. Langkahnya terayun menuju gedung khusus Pascasarjana di Gedung B. Wajah-wajah mahasiswa di sana jelas terlihat satu umur dengannya.

Malik menganggukkan kepala saat berpapasan dengan mahasiswa, sesekali membalas salam dan sapaan. Rasanya seperti bertemu teman sendiri.

"Permisi, Pak Malik."

"Iya, monggo."

Mendadak koridor menjadi lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa S2 biasanya lebih sering nongkrong di kantin atau di perpustakaan, tapi di siang yang panas ini bahkan mereka bisa ditemui di tepi koridor sembari melambai-lambai menyapa Malik.

"Wuish, beneran ganteng ternyata. Pantesan anak S1 pada kesemsem semua."

"Nggak cuma ganteng, shaleh pula. Uwuwu."

"Pak Malik masih jomblo? Saya juga lho."

"Apaan si, heh. Nggak ada yang nanya ke lo," saut temannya yang lain, merasa biasa saja dengan apa yang ada pada Malik.

Di gedung itu Malik lebih cocok menjadi mahasiswa, banyak para laki-laki yang lebih tua di atasnya. Di gedung ini pula Malik lebih banyak senyum dan ramah-tamah karena dia merasa inilah tempatnya.

"Halo, Pak Malik."

"Iya, Hai."

Malik memberi senyum. Ada yang berubah dari Malik semasa remaja dan sekarang. Dulu saat masih SMA, Malik menjadi orang yang pendiam dan sangat dingin. Sampai dirinya dijuluki sebagai 'kulkas berjalan' tidak perlu diragukan bagaimana atmosfer dinginnya saat berhadapan dengan Malik. Ketika kuliah di Kairo dan Yordania, itu waktu transisi bagi Malik. Di mana Malik belajar bahwa hidup saling membutuhkan dan memberi pertolongan. Konsep makhluk sosial benar-benar diterapkan di sana. Jauh dari keluarga membuat siapapun menyadari bahwa keluarga adalah teman yang ada di samping mereka, berjuang bersama-sama, dan yang paling sangat terasa ketika Malik satu asrama dengan mahasiswa dari berbagai negara. Bersatu dengan mimpi yang sama di langit Timur Tengah.

Ada yang berbeda, Malik lebih banyak senyum dan bersyukur. Senyum adalah ibadah dan sedekah untuk orang di sekitar. Menebarkan kebaikan dan kebahagiaan. Jarang kita sadari, bahwa senyum kita menjadi ladang bahagia orang lain.

Ekor mata Malik menyapu seluruh koridor, memberikan bentuk sapa paling ramah kepada mahasiswanya. Sampai tanpa sadar sorot pandangnya terhenti tatkala bertubrukan dengan sorot mata meneduhkan dari manik mata hitam kecoklatan, khas mata perempuan Indonesia.

Ada yang tidak biasa, hati Malik berdesir melihat pandangan dari mata indah itu. Membuat degupan jantung dari dalam berirama abnormal dan menggedor keras. Mata itu mengingatkannya pada mata milik perempuan yang sangat dirindukannya.

Selama tujuh tahun Malik melihat mata perempuan lain, dari Mesir, Yordania, sampai pulang ke Indonesia lagi, tidak pernah rasanya seaneh ini. Persis seperti perasaan saat dia memandangi gadis di tanah Jombang dulu. Ah, gadis yang dicarinya itu.

Di mana kamu, nis? Masih di Kota Istimewa ini? Lihat, kakiku berpijak di bumi kita berpisah. Datang untuk menjemputmu menjadi makmum halalku.

Itu tidak terjadi lama karena gadis dengan cadar yang menutupi sebagian wajahnya itu berlalu bersama teman sejawatnya. Langkahnya terburu-buru menaiki tangga. Dan anehnya, tanpa disadari perhatian Malik seperti terkuras pada satu titik. Annisa, di sini kah kamu?

HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang