HC 40

36.4K 3.3K 55
                                    

Malam ini langit menyampaikan rindunya pada bumi. Menjatuhkan permata beningnya memeluk keringnya sudut kota. Bermuram mendung dengan bau tanah yang semerbak. Semesta kali ini tengah merengkuh hati gadis 23 tahun yang tampak rapuh.

Dia mengecap segelas sari kurma hangat yang dicampur dengan sari buah markisa, rasa favoritnya sekarang. Pikiran-pikiran perihal dua lelaki yang kembali menyapa hidupnya pun masih betah mendekam, tidak mau menguap. Padahal dirinya pun juga tidak tau apakah Malik datang kembali memang untuk menjemputnya atau memang semesta berniat mengenalkannya kembali sebagai pengalaman hidup.

"Argh, Gus Malik kenapa datang lagi sih?" frustasinya, padahal memang itu yang diharapkannya setelah penantiannya bertahun-tahun.

Kini dia harus kembali meragu persoalan hatinya dan Danis. Alfiyah dan Herman pun sudah terlanjur tau tentang pengkhitbahan kemarin dan besok akan berangkat menuju Jogjakarta untuk bertemu dengan keluarga Danis.

"Desember, tujuh tahun silam kamu bawa pergi dia dariku. Sekarang kau datangkan kembali dia di hidupku. Masihkah pada hati dan rasa yang sama? Tolong jelaskan."

Sayangnya alam masih saja menangis, tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang mengudara. Semesta hanya tau hatinya butuh dimengerti, bukan untuk melampaui batasan-batasan yang dipaksakan.

"Nisa, bantuin Mbak Keira di bawah!" Suara Ihsan menginterupsi. Annisa buru-buru menyambar khimar dari belakang pintu dan segera turun.

Terlihat Keira tengah kesulitan membawa dua kantong kresek besar, Annisa buru-buru mengambil salah satunya. Sedangkan Ihsan tengah menggendong Iqbal di ruang tengah, mereka baru saja pulang dari jalan-jalan alias belanja keperluan.

"Banyak banget, Mbak Kei, nggak biasanya," tanya Annisa setelah meletakkan barang di atas meja makan.

"Buat mama dan papa besok, sekalian persiapan buat khitbahan kamu."

Khitbah, mendengar kalimat itu tiba-tiba membuat telinga Annisa memanas, bukan pipinya yang merona. Segumpal sungai siap meluncur dari pelupuk mata. Entah kenapa akhirnya kesesakan yang dia rasakan ingin saja meluap.

"Mbak Kei,"

"Ya, nis?" Keira sibuk memasukkan buah-buahan ke dalam lemari pendingin.

"Kalau Kak Danis bukan jodoh Annisa... gimana?"

Mendengar itu Keira memicingkan mata, menyelidiki maksud dari pertanyaan adik iparnya. Lalu kemudian menjawab, "itu Qadarullah, nis. Kalaupun kamu nggak jodoh sama Danis, Allah sudah nyiapin jodoh terbaik kamu jauh sebelum kamu kenal Danis."

Annisa diam.

"Tapi... kalo boleh Mbak tau, apa yang membuat kamu ragu sama Danis? Bukankah selama ini kalian baik-baik saja saat bersama?"

Annisa menggeleng pelan. "Enggak, mbak. Cuma melintas saja tadi."

"Sudah shalat istikharah?"

Dia mengangguk. "Sudah, tapi... belum keliatan jawabannya, mbak."

Keira mengambil salah satu kursi di dekat Annisa berdiri, kemudian mengamati adik dari suami yang sangat dicintainya itu. "Mantapkan, nisa," sambil mengelus punggung tangan kiri Annisa, "jodoh, kematian, rezeki, dan takdir sudah Allah gariskan saat kita masih dalam kandungan, saat ruh ditiupkan. Kalaupun kamu tidak disandingkan dengan dia yang kamu sebut dalam doamu, percayalah, bahwa kamu akan bersanding dengan dia yang menyebut namamu dalam doanya. Itu yang terbaik."

Keira memberi pengertian. Dia teringat dengan masa awal pernikahannya dengan Ihsan, hampir berputus asa dengan cinta sendirian yang menyakitkan. Tetapi di balik itu semua Allah telah menyiapkan bagian hidup paling indah dan tidak terduga. Kuncinya sabar dan ikhlas, Allah tidak salah menempatkan ujian dan patah hati.

HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang