HC 36

34.3K 3.3K 62
                                    

Jogjakarta, Bulan April ...

"Din, ayo ke kantin," ajak gadis berhijab itu pada teman sebangkunya.

"Nggak bisa, nis. Aku ada ketemu sama Mbak Bintang. Bukannya di kantin lagi rame sama anak kelas dua belas ya?"

Annisa mengangguk. "Makanya itu, aku mau kamu nemenin aku, tapi kamu lagi nggak bisa ya."

"Kenapa? Mau ketemu Kak Danis?" tanya Dinda dengan alis yang naik turun, bermaksud menggoda Annisa.

"I--iya, malu kalo ketemu sendiri."

"Udahlah, santai aja. Kayak nggak biasanya pulang bareng aja." Dinda semakin gencar menggoda, hingga membuat segurat warna merah muda di pipi tembam milik gadis kelahiran Jombang itu.

"Ih, yaudah, sana. Ditunggu Mbak Bintang tuh, suruh nulis sepuluh puisi sehari kayak kemarin tau rasa nanti."

"Heh, doanya ya, tolong jangan menyiksa temanmu ini."

Mendengar ketidaksukaan Dinda atas apa yang dia ucapkan, Annisa tertawa pelan. Lucu sekali rasanya. Gadis itu bersyukur memiliki teman-teman baru yang baik setelah pindah sekolah, meskipun Kota Beriman masih selalu yang dirindukan hatinya. Shinta yang banyak bicara, Salwa yang dewasa, Zaskia yang kalem, dan ... Dia, laki-laki itu, cinta pertamanya. Apa kabar dia?

Lima bulan tidak ada kabar, waktu juga tidak mempertemukan. Ingin rasanya terbebas dari perasaan yang membelenggu ruang hatinya untuk tidak terisi laki-laki lain. Dia lelah, ingin menyerah. Namun deretan kalimat yang diucapkan sore itu, untuk menunggu sampai laki-laki itu datang seolah terpatri. Membuatnya duduk termenung di tempat lama, hanya ada dua nama yang terukir, Annisa dan dia, imam idaman yang selalu basah dalam bibir doa.

Derap langkahnya berhenti tepat di pintu kantin. Membuka kembali paperbag biru yang sudah disiapkan sejak semalaman. Setelah berminggu-minggu tidak saling bertukar kabar dan sesekali bertermu di koridor, sekarang Annisa akan bertemu lagi dengan Danis. Laki-laki ketiga yang menjaganya setelah Papa dan Bang Ihsan.

"Bismillah." Annisa meyakinkan diri untuk masuk dalam kantin.

Kedatangannya disambut oleh wajah-wajah ceria kelas dua belas, kemeja putih yang penuh dengan tanda tangan seangkatan, juga isak tangis bahagia. Binar matanya menyipit saat bertubrukan dengan bola mata kebiruan milik Danis. Kakak kelas itu tersenyum lebar ke arahnya. Kemudian berpamitan dengan teman-temannya lalu menemui Annisa yang sudah menunggu di seberang bangku.

"Hai," sapa Danis.

"Ha-halo," ditinggal ujian beberapa Minggu meninggalkan jejak kaku untuk menyapa. "Selamat lulus, kak."

"Thanks, tahun depan nyusul ya, ke UGM."

"Aamiin. Oh iya, ini buat Kak Danis, ada titipan juga dari Bang Ihsan." Annisa menyerahkan paperbag.

"Salam buat Bang Ihsan, makasih. Bilangin, Sabtu depan calon iparnya ngajak jalan."

Annisa menghela napas dalam diam. Dia sudah biasa mendengar ucapan-ucapan Danis yang kurang diharapkannya, masih ada harapan lain yang menggantung di Langit Kota Jombang. "Kalo bisa ya tapi. Maklum, kan lagi pacaran sama revisi."

"Iya sih. O ya, pulang bareng aku ya. Sekalian mau ketemu Tante Alfi."

"Iya, nanti aku bilang Mama biar Mang Udin nggak jemput aku."

"Udah mau bel, balik ke kelas gih."

"Siap, Komandan."

Saat seperti inilah yang menjadi momen paling membahagiakan untuk seorang Danis. Cukup melihat gadis cantik tersenyum karenanya, euphoria itu menyeruak dalam dada. Andai saja waktu bisa dihentikan sementara waktu, dia memilih untuk tetap menikmati lengkungan seindah bulan sabit itu.

HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang