HC 28

31.9K 3.4K 23
                                    

"Panggil Malik, Syah. Abi mau bicara penting," titah Kyai Zainal pada putri bungsunya yang tengah belajar di ruang keluarga.

"Enggeh, Abi." Aisyah patuh, menutup bukunya sebelum dia beranjak untuk naik tangga menuju kamar kakak laki-lakinya.

Di depan kamar Malik, Aisyah mengetuk pintu lebih dulu. "Mas Malik, dipanggil Abi. Mau ngobrol penting katanya."

Dari balik pintu Aisyah mampu melihat kakaknya yang tengah tekun belajar. Ada sorot keseriusan di sana. Bahkan Malik sengaja memakai earphone agar tidak terganggu.

"Eh, iya. Apa?" Malik membalikkan tubuh dan melepas sebelah earphone. Menghadap Aisyah yang masih berdiri di ambang pintu.

"Dipanggil Abi, di ruang tengah," ulangnya.

"Duluan aja."

Aisyah mengangguk paham. Lalu kembali menutup pintu kamar Malik. Diam-diam kakak keduanya, Athifa, sudah berada di sampingnya sambil bersandar di gawang pintu kamar, sembari bersedekap dada.

"Ada apaan?" tanyanya.

"Mas Malik dipanggil abi," jawab Aisyah apa adanya.

"Acara apa?"

Aisyah hanya mengangkat bahu, tanda tidak mengerti.

"Jangan-jangan mau diajak ta'aruf lagi."

"Kalau mau tau ikut turun aja." Aisyah berlalu untuk turun.

"Eh, tungguiiin!!" Cepat-cepat Athifa masuk kembali dalam kamar dan mengambil khimar instan. Lalu berlari untuk turun. Penasaran ada apa dengan abinya kali ini.

Lima menit kemudian Malik turun dengan sudah mengenakan sarung.

"Abi." Malik mencium tangan Kyai dengan takzim.

"Duduk sini, le." Ustadzah Rahma menepuk kursi di sebelahnya. Menyuruh Malik untuk duduk di sana.

Sedangkan Aisyah dan Athifa yang duduk di karpet tebal depan TV, mulai melancarkan aksinya untuk menguping pembicaraan orang tuanya dengan kakak laki-laki mereka.

"Piye ulangan e?" tanya Kyai.

"Lancar, Abi. Minggu depan sudah ambil raport."

"Yaah, kirain mau ngomongin jodoh," sesal Athifa dengan suara berbisik.

Aisyah kontan menyikut lengan saudara kembarnya. "Huss, dengerin dulu."

"Sudah ada rencana mau kuliah di mana?"

"In Syaa Allah, Al Azhar, bi."

Terdengar helaan napas berat dari umi di sampingnya.

"Sudah nyari beasiswa? Lek ndak jalur beasiswa Abi keberatan, le."

"Masih cari-cari info, bi."

"Kalau kuliah di Indonesia opo kurang mantep to, Lik?" Kali ini yang bertanya uminya, Rahma Aliyah.

Malik terdiam. Bingung harus menjawab apa pertanyaan uminya. Sedangkan mimpinya tergantung jauh di tanah Timur tengah.

"Biarin Malik raih kepengen ane, umi. Dia anak mbarep," pendapat Kyai.

"Yo tapine sek setahun umi bareng Malik. Kalau mau ditinggal jauh rasane sek abot." Rahma mengungkapkan perasaannya sebagai seorang ibu.

Empat tahun Malik jauh dari jangkauannya. Tinggal bersama adik dan iparnya. Dan baru satu tahun Malik kembali, rasanya berat jika harus ditinggal jauh lagi.

HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang