HC 50

39.1K 3.7K 600
                                    

Mohon maaf, hp saya baru diservis. Kamis kemarin tidak bisa update!

***

Seseorang berlari dari arah taman, masuk ke ruangan kecil yang terletak di sudut panti itu. Membuka kamar kecil dan menutupnya dengan rapat. Gadis itu masih mengatur nafasnya yang naik turun, dentuman jantung dari rongganya yang tidak normal. Annisa berkeringat dingin, sebuah perasaan yang telah lama dipupuk rindu kini membuncah kembali saat waktu mempertemukan raganya kembali dengan laki-laki itu, Malik.

Bulir bening mulai berjatuhan, membuat basah sehelai kain yang menutupi sebagian wajah Annisa. Dia melepas cadarnya, membiarkan air matanya dengan bebas berselancar di dataran pipinya. Pelan, senyuman itu kembali terbit. Tangis bahagia setelah tujuh tahun menggantungkan perasaan sendiri di ambang tetap tinggal atau mundur.

Malik benar-benar datang sekarang!

Penderitaan hati yang Annisa rasakan belakangan ini, seolah terbius dengan ramuan ajaib saat lelaki itu kembali menyebut namanya. Dia tidak kuasa menahan kebahagiaan, tetap berlari meskipun berkali-kali Malik memanggilnya. Entahlah, arah langkahnya membawa Annisa pergi, meluapkan segala perasaan di depan cermin yang ada di sana.

Annisa merutuki tingkahnya. Apakah dia kelihatan marah dengan laki-laki itu setelah tidak ada kabar pasti tujuh tahun lamanya? Atau justru membuat Malik tidak suka dengan dirinya yang tiba-tiba menghilang? Seharusnya Annisa tadi menyapa Malik kembali. Bersikap biasa saja dan tidak berlebihan seperti ini.

Sesal-sesal itu mendominasi perasaan Annisa sekarang. Dia terlalu berharap, berlari untuk dikejar. Gadis itu menata perasaan kembali, menyiapkan hati untuk kembali berbicara dengan Malik. Ini adalah saatnya, mempertanyakan kembali janji yang pernah Malik buat dulu atas dirinya.

Annisa mencuci muka di wastafel pojok ruangan, membersihkan sisa-sisa tangisan dan membuat wajahnya kembali cerah, lantas memakai kembali cadarnya. Helai kain yang dia pakai sekarang adalah sebuah keputusan besarnya enam tahun silam.

Kenop pintu terputar bersamaan dengan Annisa yang hendak keluar. Pintu itu terbuka, menampilkan perempuan cantik dengan khimar yang menutupi mahkotanya, lantas mengangguk sopan dan tersenyum kepada Annisa. Annisa membalas senyum sampai matanya menyipit memperhatikan orang yang baru saja masuk ke ruangan kecil.

Wajah dan senyuman itu tidak asing untuk Annisa. Paras yang membawanya kembali kepada ingatan delapan tahun yang lalu, pesantren Deen Assalam.

"Zaskia?" panggilnya.

Yang dipanggil menoleh, mengerutkan dahi. "Mbak kenal dengan saya?"

"Kamu Kia kan?" Annisa menjawab dengan tanya, memastikan bahwa gadis di hadapannya adalah Zaskia teman satu pesantrennya dulu di Jombang.

"Iya, saya Zaskia." Kia menunjuk diri sendiri.

"Ma Syaa Allah, Kiaaa." Annisa lantas berhambur memeluk Kia yang masih bingung. Gadis itu merasa tidak kenal dengan perempuan bercadar yang memeluknya.

"Ma... Maaf?" Kia berusaha melepaskan pelukan.

"Kamu ingat aku, Kia? Aku Annisa, Annisa teman satu pesantren kamu dulu," beritahunya dengan excited.

Kia berpikir sebentar. Mengingat siapa saja Annisa yang dia kenal dalam hidupnya. Annisa?

"Mbak... Annisa yang dulu sekamar dengan saya di Jombang? dengan Mbak Salwa dan Mbak Sinta."

Annisa mengangguk beberapa kali, memastikan bahwa dirinya memang Annisa. Lantas menyibakkan sedikit cadar yang dikenakan, menunjukkan pada Kia bahwa dirinya benar temannya dulu.

HALAQAH CINTA (SUDAH TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang