Valerie menempelkan ujung sebuah sendok teh ke sela-sela balloon whisk[6]. Melihat adonan mengilat yang ada di baskom pengaduk, senyum tipis muncul di bibirnya. Aroma khas adonan macaron menembus indra penciuman.
Ia mencecap ujung sendok itu dan nyengir sendiri. Ada kesenangan pribadi yang menggelitik meskipun tidak tahu seperti apa rasa pastinya.
"Ini bukan tempat bermainmu, Valerie." Seorang laki-laki berpakaian chef jacket hitam dengan kancing emas menatap tajam dan dingin. Kedua lengan kokohnya menumpu beban tubuh dengan berpegangan pada sisi pinggir meja kerja stainless steel. Membuat posisinya sedikit membungkuk.
Valerie yang baru akan memegang balloon whisk menoleh ke kanan dengan tubuh yang sedikit terperanjat. Di mana sumber suara berasal dari ujung meja panjang yang tengah dipakainya.
Mata dinginnya terpaku pada tangan Valerie yang masih memegang sendok teh. "Kurasa kamu tidak kekurangan makanan."
Valerie memaksakan senyum yang ditujukan untuk Haikal. Ia jelas tahu bahwa kalimat tersebut adalah sindirian yang sebenarnya bermakna kurang lebih seperti, "Kamu jangan memakan bahan mentah itu karena terlihat seperti orang yang tidak pernah makan."
"Chef, saya cuma ingin membantu membuat macaron." Valerie mempertahankan keinginannya.
Haikal menarik bibir bagian bawah ke dalam sambil membuang wajah, kemudian badannya berdiri tegak dan melipat kedua tangan di dada. Tatapannya kembali tertuju pada Valerie. Kedua kakinya yang terbalut safety shoes hitam melangkah tegas hingga berhenti tepat di sisi kanan perempuan tersebut.
"Kamu yakin bisa membuat macaron?" Haikal melirik putih telur di dalam mixing bowl[7] yang siap dikocok. Intonasi bicaranya terdengar menantang.
Sebelum menjawab, Valerie menggerutu dalam hati meskipun raut wajah berbanding terbalik dengan suasana hatinya. Ia mengomentari nada bicara atasannya itu yang tidak bersahabat. Oh, ayolah! Haruskah ia menghadapi Haikal seperti ini selama bekerja di sini?
"Ya, Chef!" serunya mantap dengan mata berbinar. Kedua telapak tangannya bertemu hingga membuat tepukan.
Haikal meneliti wajah perempuan itu yang terlihat bersemangat. Ia menunduk dan memajukan kepala. Membuat tinggi wajah mereka hampir sejajar di jarak 30 sentimeter. "Kamu tentu tahu makanan ini, kan?"
"Tahu, Chef!" Ia kembali berseru dan menepuk lengan atas laki-laki tersebut. Ada senyum lebar yang tercipta di bibir. "Itu adalah makanan dari Perancis berbahan simpel, tetapi cukup sulit untuk membuatnya."
Seorang laki-laki mendengkus remeh mendengar suara lantang dan percaya diri Valerie.
Haikal melirik bekas tepukan di lengannya sebelum kembali membidik ke dalam iris mata cokelat muda perempuan itu. "Tidak! Saya belum akan mengizinkanmu membantu Lutfi membuatnya."
"Chef?" Valerie memasang antara merajuk dan protes. Ia merasa tidak dipercaya dalam pekerjaan ini.
"Beri kesempatan dia, Chef!" sela Adnan tenang tanpa menoleh dari piping bag[8] berisi krim untuk tart sebelum Haikal kembali mengeluarkan sahutan.
" Lebih cepat dia belajar, lebih cepat dia bisa, Chef," timpal Maha yang baru meletakkan sauce pan[9] di atas kompor untuk membuat custard[10] karamel.
Mendengar ada dua suara yang mendukungnya, senyum di bibir berpoles lipstik pink punch itu melebar. Ia menyorot harap pada laki-laki di hadapannya. Namun, itu hanya bertahan sampai hitungan ketiga.
"Kamu pikir bisa berhasil membuatnya dalam sekali coba, ha?" tantang Dito penuh ragu.
Valerie menoleh cepat. Ia mendesis kesal melihat wajah yang selalu tidak bersahabat padanya. Heran, kenapa laki-laki itu sangat terlihat tidak menyukainya? Bahkan sejak hari pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasteless Proposal
ChickLit® Shortlist Winner AIFIL 2023, reading list @WattpadChicklitID __________*___________*____________ Valerie mewujudkan mimpi menjadi chef, tetapi kejadian naas menimpanya dua tahun lalu. Dia kehilangan indra perasa sehingga terpaksa berhenti dari pr...